BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan akan bahan bakar merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi umat manusia. Bila mencermati informasi dari para pakar peneliti sumber daya alam. Mereka menyatakan, kandungan sumber minyak bumi di wilayah Indonesia diprediksikan hanya mampu untuk mencukupi kebutuhan minyak dalam negeri sampai tahun 2010. Jadi, sudah selayaknya semua pihak memikirkan alternatif bahan bakar lain yang tidak hanya mengandalkan bahan dasar minyak.
Di Indonesia, kebutuhan akan etanol sangat tinggi, karena etanol memiliki banyak manfaat, salah satunya adalah untuk industri kosmetik, tinta, dan percetakan. Selain itu juga karena etanol memiliki sifat yang tidak beracun maka bahan ini digunakan sebagai pelarut dalam industri makanan dan minuman maupun sebagai bahan bakar alternatif pengganti bensin karena aman terhadap lingkungan dan manusia. (Sutardi, dkk, 1984).
Berdasarkan roadmap of bioetanol yang disosialisasikan oleh Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi(DJLPE) pada tahun 2007, telah disebutkan bahwa target produksi bioetanol pada tahun 2011-2015 mampu mensuplai 15% dari total konsumsi bahan bakar di Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan inovasi dalam produksi ethanol yang lebih efisien.
Etanol yang digunakan selama ini umumnya diperoleh dari minyak bumi, dimana minyak bumi ini sendiri merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui lagi. Kondisi ini memaksa dilakukannya pencarian sumber bahan baku dalam pembuatan etanol. Etanol juga dapat diproduksi dari tanaman yang mengandung pati atau sering disebut dengan bioetanol.
Di lain sisi meningkatnya pertumbuhan penduduk Indonesia, makin meningkat pula kebutuhan nasi sebagai makanan pokok. kegiatan menanak nasi menghasilkan limbah air cucian beras yang selama ini belum termanfaatkan dengan baik. dari kandungan amilum dalam air cucian beras, maka dapat dihidrolisa untuk menghasilkan glukosa. glukosa kemudian difermentasi menjadi ethanol menggunakan Saccharomyces cerevisiae. Salah satu alternatif yang cukup potensial dalam menanggulangi krisis minyak bumi adalah pemanfaatan air cucian sebagai bahan baku pembuatan bioetanol.
Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah potensi limbah air cucian beras sebagai bahan baku bioethanol?
2. Bagaimanakah cara pembuatan bioethanol dari limbah air cucian beras?
Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui potensi limbah air cucian beras sebagai bahan baku bioethanol.
- Untuk mengetahui kemungkinan serta cara membuat bioethanol dari limbah air cucian beras.
Manfaat Penulisan
- Penelitian diharapkan dapat memberikan nilai tambah pada limbah air cucian beras.
- Penelitian juga diharapkan dapat memberikan inovasi energi alternatif bagi industri maupun rumah tangga.
Kerangka Berfikir
Gambar 1.1. Diagram Alir Kerangka Berfikir
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bahan Baku Pembuatan Ethanol
Pada tahun 1995, sekitar 93% etanol dihasilkan dari proses fermentasi dari bahan biomasa, sedangkan 7% disintesis dari minyak bumi. Menurut Berg (2004), 95% dari etanol yang diproduksi di dunia sekarang ini adalah bioetanol, yaitu etanol yang berasal dari amber daya hayati dan dewasa ini dibuat melalui fermentasi bahan bergula.
Bahan baku pembuatan etanol dari biomasa berdasarkan senyawa penyusunnya dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu tetes tebu molases, starchy materials/bahan berpati, dan lignoselulosa. Starchy materials dan lignoselulosa adalah bahan yang potensial untuk dikembangkan dewasa ini. Contoh bahan berpati adalah singkong. Sedangkan contoh limbah lignoselulosa yang berasal dari limbah pertanian yang cukup potensial adalah jerami padi.
Sifat Fisik dan Kimia Air Cucian Beras
Beras merupakan hasil pengolahan padi (bahasa latin: Oryza sativa L.). Sebagaimana bulir serealia lain, bagian terbesar beras didominasi oleh pati (sekitar 80-85%). Beras juga mengandung protein, vitamin (terutama pada bagian aleuron), mineral, dan air.
Gambar 2.1 Beras
Pati beras tersusun dari dua polimer karbohidrat:
· amilosa, pati dengan struktur tidak bercabang
· amilopektin, pati dengan struktur bercabang dan cenderung bersifat lengket
Dalam kehidupan sehari-hari, proses pencucian beras akan menghasilkan suatu limbah rumah tangga yang dikenal dengan air cucian beras. Selama ini limbah air cucian beras tersebut belum pernah dimanfaatkan oleh masyarakat, sehingga hal ini memicu terjadinya pencemaran lingkungan (Lestari, 1994).
Gambar 2.2 Air Cucian Beras
Pada umumnya saat memasak beras, air cuciannya sering sekali dibuang begitu saja oleh masyarakat. Sedangkan, seperti yang kita ketahui bahwasanya pada air cucian beras tersebut masih ada terkandung karbohidrat yang tersuspensi ketika pencucian, begitu juga dengan dedak (abu) yang tadinya masih menyelimuti beras ikut terbuang. Karbohidrat yang terbuang itu oleh mikroorganisme akan dirombak menjadi produk yang lebih sederhana. Tetapi, jika mikroorganisme tersebut sudah tidak mampu merombaknya maka akan menimbulkan aroma yang kurang sedap (Rahman. A, 1992).
Tabel 1 berikut ini menunjukkan komposisi kimia yang terkandung dalam air cucian beras. Dapat dilihat bahwa kandungan terbesar adalah karbohidrat (41,3%).
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Air Cucian Beras
Unsur
|
Kandungan (g)
|
Karbohidrat
|
41.3
|
Protein
|
26.6
|
Lemak
|
18.3
|
Fosfor
|
0.029
|
Kalsium
|
0.019
|
Besi
|
0.004
|
Vitamin B
|
0.0002
|
(Fibria, 2007)
Amilum
Amilum merupakan polisakarida yang terdapat banyak di alam, yaitu pada sebagian besar tumbuhan. Amilum atau dalam bahasa sehari-hari disebut pati terdapat pada umbi, daun, batang dan biji-bijian. (McGilvery&Goldstein, 1996)
Amilum terdiri atas dua macam polisakarida yang kedua-duanya adalah polimer dari glukosa, yaitu amilosa (kira-kira 20-28%) dan sisanya amilopektin. Amilosa terdiri atas 250-300 unit D-glukosa yang terikat dengan ikatan 1,4-glikosidik, jadi molekulnya merupakan rantai terbuka. Amilopektin juga terdiri atas molekul D-glukosa yang sebagian besar mempunyai ikatan 1,4-glikosidik dan sebagian lagi ikatan 1,6-glikosidik. Adanya ikatan 1,6-glikosidik ini menyebabkan terjadinya cabang, sehingga molekul amilopektin berbentuk rantai terbuka dan bercabang.
Molekul amilopektin lebih besar daripada molekul amilosa karena terdiri atas lebih dari 1.000 unit glukosa. Butir-butir pati tidak larut dalam air dingin tetapi apabila suspensi dalam air dipanaskan, akan terbentuk suatu larutan koloid yang kental. larutan koloid ini apabila diberi larutan iodium akan berwarna biru. Warna biru tersebut disebabkan oleh molekul amilosa yang membentuk senyawa. Amilopektin dengan iodium akan memberikan warna ungu atau merah lembayung (McGilvery&Goldstein, 1996).
Berikut adalah struktur molekul amilum:
Gambar 2.3 Rumus Bangun Amilum
Hidrolisis Amilum
Hidrolisis adalah proses dekomposisi kimia dengan menggunakan air untuk memisahkan ikatan kimia dari substansinya. Hidrolisis pati merupakan proses pemecahan molekul amilum menjadi bagian penyusun-penyusunnya yang lebih sederhana seperti dekstrin, isomaltosa, maltosa, dan glukosa (Rindit et al, 1998).
Amilum dapat dihidrolisis sempurna dengan menggunakan asam sehingga menghasilkan glukosa. hidrolisis juga dapat dilakukan dengan bantuan enzim amylase. Dalam ludah dan dalam cairan yang dikeluarkan oleh pankreas terdapat amylase yang bekerja terhadap amilum yang terdapat dalam makanan kita. Oleh enzim amylase, amilum diubah menjadi maltosa dalam bentuk maltosa. (McGilvery&Goldstein, 1996)
Tahap-tahap dalam proses hidrolisis amilum serta warna yang terjadi pada reaksi dengan iodium adalah seperti pada tabel berikut :
Tabel 2.2 Tahap Hidrolisis Amilum
Hidrolisis dengan Asam
Metode kimiawi dilakukan dengan cara hidrolisis pati menggunakan asam-asam organik, yang sering digunakan adalah H2SO4, HCl, dan HNO3. Pemotongan rantai pati oleh asam lebih tidak teratur dibandingkan dengan hasil pemotongan rantai pati oleh enzim. Hasil pemotongan oleh asam adalah campuran dekstrin, maltosa, glukosa, sementara enziim bekerja secara spesifik sehingga hasil hidrolisis dapat dikendalikan (Assegaf, 2009).
Hidrolisis dengan Enzim Amilase
Enzim merupakan senyawa protein kompleks yang dihasilkan oleh sel-sel organisme dan berfungsi sebagai katalisator suatu reaksi kimia (Harwati dkk, 1997). Kerja enzim sangat spesifik, karena strukturnya hanya dapat mengkatalis satu tipe reaksi kimia saja dari suatu substrat, seperti hidrolisis, oksidasi, dan reduksi. Ikuran partikel mempengaruhi laju hidrolisis. Ukuran partikel yang kecil akan meningkatkan luas permukaan serta meningkatkan kelarutan dalam air (Sarasswati, 2006). Temperatur hidrolisis berhubungan dengan laju reaksi. Makin tinggi temperatur hidrolisis,maka hidrolisis akan berlangsung lebih cepat. Hal ini disebabkan konstanta laju reaksi meningkat dengan meningkatnya temperatur operasi. Enzim dapat diisolasi dari hewan, tumbuhan , dan mikroorganisme (Azmi, 2006)
Hidrolisa amilosa oleh α-amilase terjadi melalui dua tahap. Tahap pertama adalah degradasi menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi ini terjadi secara cepat diikuti pula dengan menurunnya viskositas dengan cepat. Tahap kedua relatif lambat dengan pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir. Sedangkan untuk amilopektin, hidrolisis dengan α-amilase menghasilkan glukosa, maltosa, dan berbagai jenis α-limit dekstrin yanng merupakan oligosakarida yang terdiri dari 4 atau lebih residu gula yang semuanya mengandung ikatan α-1,6 glikosidik (Suhartono, 1989).
Proses hidrolisis dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu enzim, ukuran partikel, temperatur, pH, waktu hidrolisis, perbandingan cairan terhadap bahan baku (volume substrat), dan pengadukan.
Pengertian Bioetanol
Etanol (C2H5OH) atau etil-alkohol merupakan hidrokarbon berikatan tunggal, tidak berwarna dan tidak berasa tetapi memiliki bau yang khas. Etanol memiliki sifat fisika antara lain titik didih 73,32oC, titik kritis 243,1oC, serta densitas 0,7893 g/mL pada suhu 20oC (Najafpour dan Lim, 2002).
Jenis Bioethanol :
Di dalam perdagangan, dikenal etanol menrut kualitasnya, yaitu:
1. Alkohol teknis (96,5o GI) terutama digunakan untuk kepentingan industri dan sebagai pelarut bahan bakar
2. Alkohol murni (96-96,5o GI) alkohol yang lebih murni, digunakan untuk kepentingan farmasi, minuman keras dan alkohol
3. Spirtus (88o GI), bahan ini merupakan alkohol terdenaturasi dan diberi warna biru. Umumnya digunakan untuk pemanasan dan penerangan
4. Alkohol absolut atau alkohol adhira(99,5-99,8o GI) tidak mengandung air sama sekali. Digunakan untuk kepentingan farmasi dan untuk bahan bakar kendaraan
Manfaat Etanol:
Etanol adalah pelarut yang sangat diperlukan dalam proses industri, rumah sakit, maupun sebagai bioenergi.
Kegunaan etanol dalam kimia industri diantaranya yaitu:
1. Sebagai obat antiseptik pada luka dengan kadar 70%
2. Bahan baku barang industri seperti zat warna, parfum, dan essence buatan.
3. Untuk kepentingan industri misalnya sebagai pelarut bahan bakar ataupun diolah kembali menjadi bahan lain
4. Untuk membuat minuman keras seperti bir dan wisky
(Tarigan,2009)
Bioethanol sebagai Bahan Bakar:
Etanol dapat digunakan sebagai bioenergi. Etanol merupakan salah satu bahan baku alternatif pengganti energi minyak dan gas pada kendaraan bermotor dan pabrik. Hingga saat ini konsumsi etanol dunia sekitar 63 persen untuk bahan bakar, terutama di Brasil, Amerika Utara, Kanada, Uni Eropa, dan Australia.Di Brazil etanol telah menggantikan fungsi bensin sebagai bahan bakar.Uji coba juga telah dilakukan di Indonesia. Tahun 1982, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) membangun pabrik percontohan pembuatan etanol dan perkebunan bahan bakunya, yaitu ubi kayu atau singkong, di daerah transmigrasi Tulang Bawang, Lampung Utara.
Makin tingginya harga minyak mentah, etanol sebagai campuran bahan bakar kendaraan memiliki prospek bagus yang berfungsi sebagai penambah volume BBM, peningkat angka oktan, dan sebagai sumber oksigen untuk pembakaran yang lebih bersih pengganti (methil tertiary-butil ether/MTBE). Hal ini dikarenakan etanol mengandung 35 persen oksigen, maka etanol dapat meningkatkan efisiensi pembakaran. Etanol juga ramah lingkungan karena emisi gas buangnya rendah kadar karbon monoksida, nitrogen oksida, dan gas-gas rumah kaca yang menjadi polutan.
Proses Pembuatan Bioethanol
Pembuatan Etanol dengan Fermentasi
Proses pembuatan alkohol secara industri tergantung pada bahan bakunya. Bahan yang mengandung gula biasanya tidak atau sedikit saja memerlukan pengolahan pendahuluan. Tetapi bahan-bahan yang mengandung pati, selulosa atau hemiselulosa harus dihidrolisa terlebih dahulu sehingga menjadi gula yang dapat difermentasikan.
Etanol dapat dihasilkan dari peragian atau fermentasi karbohidrat, dimana prinsip pembentukan etanol adalah pelepasan energi yang tersimpan pada bahan – bahan organik yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi dengan bantuan mikroba. Terdapat beberapa jenis mikroba yang memiliki kemampuan untuk menfermentasikan etanol diantaranya khamir dan bakteri. Proses pembentukan etanol dengan perantara mikroba berjalan secara anaerobik dan untuk yeast secara mikroaerobik.
Produksi ethanol dengan bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat, dilakukan melalui konversi karbohidrat menjadi gula yang larut dalam air. Dalam proses konversi karbohidrat menjadi gula larut dalam air dilakukan dengan penambahan air dan enzim. Kemudian dilakukan proses peragian atau fermentasi gula menjadi etanol dengan penambahan yeast atau ragi. Proses fermentasi dimaksudkan untuk mengubah gula menjadi etanol (alkohol) dengan menggunakan strain mikroorganisme. Etanol yang dihasilkan dapat ditingkatkan kualitasnya dengan membersihkannya dari zat-zat yang tidak diperlukan. Proses fermentasi sangat berpengaruh dari kondisi pH dan temperatur fermentasi. Selain itu fermentasi alkohol ditentukan oleh nutrisi (zat gizi) dan kondisi udara untuk kehidupan ragi. Dalam proses pembuatan alkohol, selain tergantung pada bahan baku yang digunakan juga tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan mikroba yang digunakan.
Beberapa tahap utama yang dilakukan dalam proses fermentasi yaitu :
a. Seleksi mikroorganisme yang akan digunakan.
b. Seleksi media yang akan digunakan.
c. Sterilisasi semua bagian yang penting agar tidak terkontaminasi mikroorganisme lain.
d. Evaluasi proses dan hasil secara keseluruhan.
Saccharomyces cerevisiae
Saccharaomyces cerevisiae adalah nama spesies yang termasuk dalam khamir berbentuk oval. Saccharomyces cerevisiae berfungsi dalam pembuatan roti dan bir, karena Saccharomyces bersifat fermentatif (melakukan fermentasi, yaitu memcah glukosa menjadi karbon dioksida dan alkohol) kuat. Namun, dengan adanya oksigen, Saccharomyces juga dapat melakukan respirasi yaitu mengoksidasi gula menjadi karbon dioksida dan air
Gambar 2.4 Saccharomyces cerevisiae di bawah mikroskop DIC
Semua strain Saccharomyces cerevisiae dapat tumbuh aerobik pada glukosa, maltosa, dan trehalosa. Kemampuan ragi untuk menggunakan gula yang berbeda dapat berbeda tergantung pada apakah mereka tumbuh aerobik atau anaerobik. Beberapa strain tidak dapat tumbuh anaerobik pada sukrosa dan trehalosa.
Semua strain dapat menggunakan amonia dan urea sebagai sumber nitrogen tunggal, tetapi tidak dapat menggunakan nitrat, karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengurangi mereka untuk ion amonium. Mereka juga dapat menggunakan kebanyakan asam amino, peptida kecil, dan basa nitrogen sebagai sumber nitrogen. Ragi juga memiliki persyaratan untuk fosfor, yang berasimilasi sebagai dihidrogen fosfat ion, dan belerang, yang dapat diasimilasikan sebagai sebuah ion sulfat atau sebagai senyawa sulfur organik seperti asam amino metionin dan sistein. Beberapa logam, seperti magnesium, zat besi, kalsium, dan seng, juga diperlukan untuk pertumbuhan yang baik dari ragi.
BAB III
METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Peralatan
- Spektrofotometri dan cuvet
- Autoclave
- Erlenmeyer
- Labu distilasi
- Kondensor
- Tabung Reaksi
- Pipet Tetes
- Beaker Glass
- Pipet Ukur dan Karet Penghisap
- Hot plate dan stirrer
- Timbangan analitik
- Thermometer
- Gelas Ukur
Bahan-bahan yang Digunakan
1. Air cucian beras
2. Larutan iodium
3. Larutan HCl 1 M
4. Aquades
5. yeast
6. NaOH 4 N
7. (NH4)2SO4
Prosedur Penelitian
Berikut ini prosedur penelitian yang penulis rencanakan :
Analisa Amilum pada Air Curas
1. Memasukkan air cucian beras 10 mL ke dalam tabung reaksi
2. Menambahkan 3 tetes larutan lugol ke dalam tabung reaksi
3.Mengamati perubahan warna larutan.
Analisa Glukosa pada Air Curas
1. Membuat kurva absorbant glukosa standart
2. Mengencerkan air cucian beras dengan kelarutan 10X
3. Mengkalibrasi spektrofotometer dengan aquades dengan setting nilai nol
4. Mencari harga absorban air cucian beras dengan spektrofotometer
5. Mencatat nilai absorban yang terbaca
Hidrolisa Polisakarida (Amilum)
1. Memasukkan air curas 100 mL ke dalam beaker glass 250 mL
2. Menambahkan HCL 1 N sebanyak 70 mL
3. Memanaskan larutan hingga 80oC menggunakan hot plate stirrer
4. Mengambil 2 mL sebagai larutan sampel, kemudian menambahkan larutan iodium sebanyak 2 tetes. Mengamati perubahan warna.
5. Mengulangi langkah (3) setiap menit
6. Mencatat perubahan warna hasil percobaan
Fermentasi etanol
1. Menambahkan 3 gram (NH4)2SO4 sebagai nutrisi
2. Melakukan flashing pada hidrolisat menggunakan gas N2 selama 1 menit
3. Melakukan sterilisisasi pada media menggunakan autoclave pada suhu 121oC selama 10 menit, kemudian mendinginkannya hingga suhu 30oC
4. Memasukkan yeast ke dalam media
5. Melakukan fermentasi selama 60 jam dengan pH 5,5-6 dan suhu 30oC
Distilasi
1. Menyaring larutan hasil fementasi menggunakan kertas saring
2. Merangkai alat distilasi
3. Melakukan distilasi pada suhu 60-65oC
4. Mengambil distilat sebagai produk setelah tidak terdapat distilat yang menetes pada gelas penampung
Diagram Alir Penelitian
Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan Bioetanol dari Air Cucian Beras
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pretreatment Air Cucian Beras
Sebelum diproses, tidak ada pretreatment khusus terhadap limbah air cucian beras karena sifat fisik dari bahan baku sudah berupa cairan dan tidak terlalu pekat. Hal ini sudah sesuai dengan kebutuhan percobaan. Sifat ciran yang tidak terlalu pekat ini akan mempermudah dalam proses fermentasi. Proses fermentasi dapat berlangsung jika konsentrasi gula dalam substrat tidak terlalu tinggi (Shreve,1993).
Gambar 4.1 Air Cucian Beras pada Pretreatment
Hidrolisis
Seperti yang telah dipaparkan dalam pembahasan sebelumnya, air limbah cucian beras mengandung karbohidrat dengan komposisi utamanya adalah amilum. Untuk memproduksi etanol dengan bahan baku tanaman yang mengandung pati atau amilum, perlu dilakukan konversi amilum menjadi gula yang larut dalam air, yaitu melalui proses hidrolisis.
Dalam penelitian ini, hidrolisis amilum dilakukan dengan metode kimiawi yaitu dengan menggunakan asam organik, HCl. Pemilihan HCl dikarenakan proses hidrolisis yang cepat, bahan yang mudah didapat, dan tanpa treatment rumit seperti metode enzimatik.
Proses hidrolisis dilakukan di atas penangas air yang dilengkapi dengan stirrer. Pemanasan dijaga pada suhu Selama proses hidrolisis, setiap tiga menit dilakukan uji amilum dan diamati perubahan warnanya. Hidrolisis dihentikan hingga larutan tidak berubah warna pada uji amilum.
Berikut ini gambar yang diambil saat uji amilum. Dapat dilihat bahwa pada mulanya larutan hidrolisis berwarna ungu pada uji amilum, dan semakin lama akhirnya larutan tidak mengalami perubahan warna.
Gambar 4.2 Hasil Uji Amilum pada Larutan Hidrolisis
Hasil uji amilum tersebut menunjukkan bahwa selama proses hidrolisis, pati/amilum dalam air cucian beras mengalami pemotongan, sebagaimana digambarkan dalam skema berikut.
Gambar 4.3 Skema Tahap Hidrolisis Amilum
Setelah hidrolisis selesai, dilakukan pengujian pH, pH terukur adalah 1. Untuk mencapai pH fermentasi sekitar 4, maka selanjutnya larutan hasil hidrolisis dinetralisasi dengan larutan NaOH sehingga diperoleh pH 5,5. Proses netralisasi hanya dipertahankan sampai 5 karena nantinya pada fermentasi akan ditambahkan sedikit media asam yang akan menurunkan pH.
Fermentasi
Proses fermentasi dilakukan dengan menambahkan (NH4)2SO4 sebagai nutrisi ke dalam 185 mL media yang sudah disterilisasikan. Penambahan nutrisi ini bertujuan agar bakteri Saccharomyces cerevisiae dapat tumbuh dengan baik.
Fermentasi etanol dari glukosa menggunakan Saccharomyces cerevisiae terjadi secara anaerobik dengan persamaan reaksi sebagai berikut:
C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2
Oleh karena itu, dilakukan flushing dengan cara mengalirkan gas N2 ke dalam media fermentasi selama 1 menit. Dengan cara ini, diharapkan gas O2 yang masih terdapat dalam media akan keluar (Wilkie, 2003)
Setelah itu, media disterilisasikan terlebih dahulu. Sterilisasi dilakukan menggunakan autoclave pada suhu 121oC selama 10 menit. Pada proses sterilisasi, bakteri dalam larutan akan mati karena suhu yang tinggi, sehingga diharapkan fermentasi tidak akan terganggu. Setelah sterilisasi, media didinginkan hingga suhu 30oC agar Saccharomyces cerevisiae dapat tumbuh optimal.
Selanjutnya media dalam labu erlenmeyer ditambahkan Saccharomyces cerevisiae dalam bentuk yeast sebanyak 0,653 gram, ditutup dan diaduk pelan-pelan menggunakan magnetic stirrer. Kemudian penutup karet tabung fermentasi dihubungkan menggunakan selang ke dalam indikator air. Dengan adanya indikator air maka dapat diketahui adanya produksi gas. Selain itu dengan menggunakan indikator air dapat mempermudah dalam mendeteksi kebocoran gas. Sebelum proses fermentasi, media dikondisikan pada pH 5,5 – 6 dengan menggunakan NaOH 4 M. Penambahan NaOH dilakukan dengan sangat hati-hati karena perubahan pH sangat sensitif terhadap penambahan NaOH 4 N. pH merupakan faktor penting dalam proses fermentasi karena mempengaruhi proses metabolisme sel dalam memproduksi bioetanol.
Fermentasi dilakukan selama 66 jam agar mendapatkan yield yang maksimal. Setelah fermentasi dihentikan, terdapat lapisan putih gelap di permukaan larutan. Hal ini disebabkan adanya beberapa bakteri yang mati. Ada bebrapa faktor yang menyebabkan bakteri tersebut mati. Diantaranya yaitu pH yang tidak dapat dijaga berada pada range 5,5 – 6. Cara pengendalian pH dapat dilakukan dengan menambahkan NaOH. Akan tetapi, penambahan NaOH ini tidak dapat sering dilakukan karena akan menyebabkan bakteri lain serta O2 masuk ke dalam erlenmeyer. Hal ini akan mengakibatkan kontaminasi dan fermentasi tidak dapat berjalan.
Gambar 4. 4 Rangkaian Alat Fermentasi
Distilasi
Sebelum larutan hasil fermentasi didistilasi, telah dilakukan penyaringan menggunakan kertas saring terlebih dahulu agar proses distilasi dapat berjalan lebih mudah. Penyaringan dilakukan sebanyak dua kali hingga larutan tidak terlihat partikel solid di dalamnya. Pada penelitian ini, distilasi dilakukan dengan menggunakan rangkaian alat yang terdiri dari labu distilasi, kondensor, hot plate, termometer dan penampung distilat. Suhu distilasi dijaga antara 70-80oC . Hal ini bertujuan agar komponen yang teruapkan hanya ethanol, dimana titik didih etanol sebesar 78,4oC dan titik didih air 100oC. Adapun indikator suhu menggunakan termometer dan pengontrolan suhu dilakukan dengan mangatur putaran skala suhu pada hot plate.
Konsep dasar distilasi yaitu transfer panas dari uap etanol ke cooling water yang bersuhu lebih dingin. Kondensor yang digunakan adalah kondensor dengan arah aliran cooling water co-current.
Distilasi dilakukan selama 3 jam. Selama proses distilasi terjadi penguapan pada larutan dalam labu distilasi. Sebagian uap tersebut masuk ke dalam tube kondensor, tetapi tidak mengalami kondensasi. Hal ini disebabkan transfer panas yang tidak maksimal. Ada beberapa faktor yang menyebabkan tranfer panas kurang maksimal. Diantaranya yaitu besar laju cooling water yang kecil dan suhu cooling water yang cukup tinggi. Pada proses distilasi ini, terhitung suhu air sebesar 30o. Adapun penentuan besar laju cooling water perlu memperhatikan waktu kontak dan kemanan alat. Jika terlalu tinggi, maka kontak cooling water dan uap akan terlalu cepat sehingga transfer panas tidak maksimal. Selain itu, dapat mengganggu keseimbangan rangkaian alat dan memberikan tekanan tinggi pada kondensor sehingga memungkinkan merusak dinding kondensor.
Pada akhir distilasi, tidak dapat dilakukan pengukuran kadar etanol dan yield etanol karena distilat yang diperoleh hannya dapat membentuk film pada dinding gelas penampung. Hal ini menunjukkan bahwa proses distilasi ini tidak berjalan dengan baik.
Gambar 4.5 Rangkaian Alat Distilasi
Analisa produk
Analisa produk dilakukan untuk mengetahui komposisi hasil proses pembuatan bioetanol. Pada percobaan kali ini, analisa produk tidak dapat dilakukan menggunakan analisa GC karena jumlah distilat yang diperoleh tidak memenuhi kebutuhan analisa. Oleh karena itu, untuk menganalisa jumlah etanol yang dihasilkan, maka dilakukan analisa glukosa yang tersisa pada pada larutan.
Analisa glukosa dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer untuk mengetahui nilai absorbansi larutan sampel. Perhitungan kadar glukosa pada air cucian beras, hidrolisat air cucian beras dan hasil fermentasi etanol dilakukan melalui pendekatan nilai absorbansi glukosa teknis. Oleh karena itu, telah dibuat kurva standart kandungan glukosa versus absorbansi pada larutan glukosa yang sudah diketahui konsntrasinya menggunakan Dinitrosalicylic acid(DNS).
Gambar 4.6 Kurva Standart Konsentrasi Glukosa versus Absorbansi Larutan Glukosa Teknis
Adapun pengukuran nilai absorbansi pada air cucian beras, hidrolisat air cucian beras dan hasil fermentasi etanol dilakukan dengan mengencerkan masing-masing larutan tersebut dengan aquades dengan faktor pengencern 10X. Pengukuran dilakukan pada anjang gelombang 540 nm dan dilakukan kalibrasi menggunakan aquades. Pada kalibrasi, nilai absorbansi diatur hingga mencapai nilai 0(nol). Hal ini dikarenakan nilai absorbansi pada aquades seharusnya yaitu 0(nol). Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali untuk masing-masing sampel agar mendapatkan data yang lebih akurat. Setelah dilakukan pengukuran nilai absorbansi pada air cucian beras, hidrolisat air cucian beras dan larutan hasil fermentasi etanol maka diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 4.1 Hasil Pengukuran Absorbansi Larutan
No. sampel
|
Nilai Absorbansi
| ||
Air cucian beras awal
|
Hidrolisat air cucian beras
|
Larutan hasil fermentasi
| |
Sampel I
|
0.334
|
0.735
|
0.550
|
Sampel II
|
0.346
|
0.751
|
0.590
|
Sampel III
|
0.341
|
0.710
|
0.590
|
Rata-rata
|
0.340
|
0.732
|
0.577
|
Dari nilai absorbansi yang diperoleh, maka dilakukan perhitungan konsentrasi glukosa pada larutan dengan menggunakan persamaan kurva standart sehingga diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Konsentrasi Glukosa
Konsentrasi Glukosa (µmol/mL)
| ||
Air cucian beras awal
|
Hidrolisat air cucian beras
|
Larutan hasil fermentasi
|
3.129036967
|
6.5964228
|
5.221272333
|
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa konsentrasi glukosa hidrolisat air cucian beras lebih banyak daripada konsentrasi glukosa air cucian beras awal, dengan perbandingan 2:1. Hal ini menunjukkan bahwa proses hidrolisa mampu mengubah amilum menjadi glukosa. Selain itu, konsentrasi glukosa hasil fermentasi lebih kecil daripada konsentrasi glukosa pada hidrolisat air cucian beras. Hal ini menunjukkan bahwa fermentasi berhasil merubah glukosa menjadi etanol.
Berdasarkan koefisien stoikiometri pada reaksi konversi glukosa menjadi etanol, maka dapat diketahui bahwa glukosa terkonversi menjadi etanol sebesar 21% dan diperoleh mol etanol sebesar 2.750300933 µmol/mL. Dengan demikian, yield etanol yang dihasilkan dari air cucian beras yaitu 42%.
Simpulan dan Saran
Simpulan
Dari beberapa uraian yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:
- Limbah air cucian beras berpotensi sebagai bahan baku bioetanol karena mengandung amilum dan dapat dihidrolisa sehingga dapat meningkatkan konsentrasi glukosa sebesar 200%.
- Limbah air cucian beras dapat diubah menjadi etanol melalui proses fermentasi anaerobik menggunakan Saccharomyces cerevisiae dengan yiel sebesar 42%. Prose ini dilakukan pada suhu 30oC, tekanan 1 atm dan pH 5,5
Saran
Dari beberapa uraian yang telah disebutkan, maka penulis memberikan beberapa saran yaitu
- Perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk mencari teknik hidrolisa yang efektif digunakan pada hidrolisa air cucian beras menjadi glukosa.
- Perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk mencari perbandingan yeast:substrat yang optimum agar mendapatkan yield maksimum
- Distilasi etanol sebaiknya dilakukan menggunakan distilasi khusus karena etanol memiliki sifat azeotrop sehingga tidak mudah dipisahkan dari larutan.
DAFTAR PUSTAKA
Bailey, J.E., D.F. Ollis.1986. “Biochemical Engineering Fundamentals”, 2nd Ed., McGraw-Hill International Edition: Singapore.
Stanbury,Peter.F.1994.”Principles of Fermentation Technology”. Linacre House, Jordan Hill:Oxford.
Sunggyu, L., Speight, J.G., dan Loyalka, S.K.2007.“Handbook of Alternative Fuel Technologies”. CRC Press Taylor dan Francis Group : New York.
Trisno,Iwan.”Optimasi Proses Hidrolisa Pada Pembuatan Etanol Berbahan Baku Kulit Pisang”. Rabu, 08 Juni 2011 03:56.
Wilkie,Ann.C.2003.”Anaerobic Digestion of FlushDiary Manure”.University of Florida:Gainesvile.
http://bpptk.lipi.go.id/bpptk/?page_id=488
http://en.wikipedia.org/wiki/Saccharomyces_cerevisiae
http://www.gudangmateri.com/2010/02/biokimia-karbohidrat.html