“Haiii !!!!! Awas kamu ya!!!”
“Weeeekkk….sukurin…sukurin…sukurin…”,
Balas si Fani dengan mata melotot ke atas dan mulut ditarik kesamping dengan
kedua ibu jarinya, seperti kelinci
Humm..humm..humm…huu
mae….Terdengar suara tangis
si Anis dengan rambutnya yang berlumuran oli bekas. Si Anis berjalan tanpa liat
arah, dia telusuri rerumputan di tepi jalan sawah hingga air matanya kering
sesampainya di rumah.
GLUBRAKK!!!!
Tangisan si Anis semakin kencang,
ditambah dengan jeritan yang spontan keluar dari mulut si Anis. Rupanya,
kepalanya kejatuhan batang sapu sawang(baca:sapu
langit-langit) setelah ia mendobrak pintu belakang rumah.
AAAAA…………!!
Teriakan yang melengking itu seketika
membangunkan si Anis dari tidurnya. Dibukalah matanya lebar-lebar, satu
ekspresi kaget yang luar biasa. Dalam hitungan beberapa detik, si Anis dipaksa
berdiri oleh kakaknya dan ditinggalkan sendirian di dalam kamar mandi. Si kakak
lari-lari memanggil ibunya.
“Mae…. itu si Anis nggak rupa orang”
Sang ibu pun kaget dan langsung
mengikuti langkah si kakak menemui si Anis. Melihat si Anis yang mematung di
kamar mandi, sang ibu pun spontan berkata
“Astaghfirullahal’adzim..”
Lantas ibu langsung memandikan si Anis
sambil menceramahi bocah kecil itu.
“Mainan kok bisa sampai mandi oli kayak
gini sih.. tadi main sama siapa??
Makanya, kalau main jangan sama anak cowok. Main itu, sama putri. Main
kok ke sawah, kayak bocah ilang aja!”
Si kakak tampak iba, tapi juga kesal
karena ulah adiknya yang mengotori ubin dari pintu belakang hingga ke kamar
mandi. Di gosok-gosokkanlah kain pel itu dengan kasar oleh si kakak dan tak
terasa, ubin-ubin itu kembali bersih. Si Anis pun sudah berpakaian rapi, wangi
dengan rambutnya yang bersih kembali.
***
Suara gemerincing piring di lantai depan
TV itu biasa terdengar di pagi hari sekitar jam 06.30 di hari aktif dan jam
08.00 di hari minggu. Seperti biasa, sebelum berangkat ke sekolah si Anis
memasukkan uang sakunya ke dalam saku rok merahnya. Beruntung kali ini saku
roknya sudah dijahit oleh si kakak, jadi di sekolah dia bisa jajan.
ADUH !!!
Tiba-tiba si Anis bersuara tepat saat
ekor rambutnya ditarik dari belakang. Mukanya kini mendadak serem lagi.
Dilihatnya kedua bola mata si Fani dengan kesal. Kekesalannya bertambah melihat
si Fani yang malah tersenyum lebar.
“Gini dong…kan nggak bau lagi rambutnya,
tapi kutunya masih ada nggak?”
Kejar-kejaran antar dua bocah kecil pun
tak terelakkan, sampai-sampai si Anis lupa dengan basgor (baca:bakso goreng) yang dipesannya pada mbak Binti. Semua
anak-anak berseragam merah putih tak mau melewatkan adegan lucu itu. Ya, jika
si Anis dan si Fani mulai ribut pastilah jadi tontonan seru.
***
“Anis !!!”
Lamunanku seketika terpecahkan oleh bentakan kecil
dari partner kerjaku, Yeyen.
“Kamu ini gimana sih? Jawab dong pertanyaan Pak
Manajer”
Dengan wajah yang masih setengah kosong, ku mencoba
merangkai kalimat jawab.
“Em..saya mencoba untuk menjawab pertanyaan Bapak.
Em…jadi, kami menggunakan bahan karena kualitasnya cukup bagus untuk sekala home industry ” Berhenti sejenak. “Em..”
GUBRAKK!!!
“Saudara ini gimana sih? Tidur ya? ini sudah siang
mbak!!!”, bentak bapak manajer itu dan beliau melanjutkan kalimatnya.
“Pertanyaan saya itu, dimana dimana kita mendapatkan
bahan dengan kualitas sebagus itu? Kok nggak nyambung sih, dari tadi!”
“Mohon maaf Pak, atas kekeliruan kami. Saya akan
mencoba menjelaskan tempat-tempat…….”, Yeyen mejelaskan dengan gamblang jawaban
atas pertanyaan itu
Presentasi kami pun selesai dan aku pun langsung
kembali ke meja kerja menatap kosong kotak pensilku. Datanglah Yeyen
menghampiriku.
“Kamu itu kenapa sih? Tumben, kayak orang kesambet gitu?”
Aku pun hanya menggeleng-gelengkan kepala pelan
dengan pandangan tetap kosong. Setelah saling berdiam diri dalam beberapa
menit, tanpa ragu ku bertanya.
“Terus rencana kita apa Yen?”
“Anis, rancangan kita kan sudah
disetujui. Ya sudah, mulai kita jalankan aja sesuai schedule. Plis deh Nis, bagun dong…kamu ini kenapa sih?” Yeyen
tampaknya mulai geram melihat ekspresi wajahku.
“Hai… do you
need a coffee? or a glass of jasmin tea?”
, Yeyen mulai menghiburku seperti biasa dengan senjata andalan jasmin
tea
“Oke tante, yuuk..”, jawabku dengan nada manja
Di kafe itulah, aku mulai tersenyum
kembali setelah curhat tuntas ke Yeyen tentang sikapnya yang aneh. Sebagai
rekan sekaligus sahabat yang baik, dia memberikan nasihat padaku untuk menjadi
orang yang sabar dan lebih tenang, staycool.
Memang, terkadang cara orang menegur kita itu beda-beda. Ada yang selembut
sutra dan ada pula yang seperti gergaji. Semua itu merupakan salah satu sarana
membuat kita lebih bijak, lebih bisa memaknai arti hidup. Saat emosi kita tak
terkendalikan saat ada sedikit sentilan dari
orang lain maka bersiap-siaplah untuk menyandang rasa gelisah nantinya. Marah
itu perbuatan seketika yang merugikan ke depannya dan yang pasti membuat diri
kita tak nyaman.
Usai kejadian di kafe itu, kami memulai
langkah petualangan yang baru, benar-benar baru karena ini pertama kali aku
dipindahkan di bagian research and
development. Tiga minggu terakhir
kulalui dengan menjalankan pekerjaan satu demi satu sesuai schedule. Tak hanya itu, aku dan Yeyen tak jarang pula ikutan nggowes(bersepeda keliling kota). Karena
hidup tak hanya untuk bekerja, butuh olahraga dan lain-lain. Tak sekali, dua
kali bahkan berkali-kali kami ditegur pimpinan. Tapi, ku selalu mencoba
mengingat kalau marah itu merugikan aku sendiri. Lagipula, setelah
dipikir-pikir apa yang dikatakan beliau juga ada benarnya, hanya saja
penyampaiannya kurang bisa diterima. Ya… itulah hidup, tiada indah tanpa relief
yang berkelok-kelok. Bahkan semakin rumit relief itu, semakin indak pula dinding
kehidupan.
Hidup
itu selalu ada cobaan, tantangan dan ketika kita benar-benar merasa tidak bisa
menyelesaikannya bisa jadi kapasitasmu sampai segitu saja. Tetapi kalau kita
bisa menyelesaikannya berarti kapasitas kita akan meningkat. Sedangkan manusia
tidak akan diberi cobaan yang lebih berat dari kemampuannya. Jadi, pilihannya
ada dua. Yakin bisa menyelesaikannya dan yakin bisa menyelesaikannya
Kalimat itu masih terngiang ditelingaku,
kalimat yang seringkali tiba-tiba muncul dalam benakku manakala aku merasa tak
kuat menanggung beban. Teringat kalimat itu, teringat pula akan
kebaikan-kebaikan seorang sahabat. Sebut saja namanya Hadi. Dia lah yang
pertama kali menyampaikan kalimat itu saat kumerasa drop di akhir masa kuliahku di Jogjakarta. Entah, sekarang si Hadi
bagaimana kabarnya, satu bulan setelah wisuda, ia menghilang entah kemana.
Mungkin dia sudah di Amerika, melanjutkan kuliahnya disana atau dia pulang ke
kampung halamannya atau sebenarnya di dekat dengan tempat kerjaku saat ini
tetapi aku tidak tahu. Ya, terkadang terlintas dalam benakku suatu keinginan
bersua kembali dengannya. Menyaksikan bahkan merasakan kebijakan dan ketulusan
hatinya. Sejak kami berpisah, hanya rekaman perjalanan kami yang bisa kulihat.
Satu folder foto tentang aku, dia dan mereka teman-teman yang ikut serta
melengkapi, menghiasi hari-hariku. Tak hanya itu, catatan-catatan kalimat
motivasinya masih kusimpan dalam memori laptoku, emailku, dan hatiku. Meski
semua itu tinggal kenangan, ku tetap berharap aku masih bisa bersua dengannya,
bisa saling berbagi dengannya, saling tersenyum sama lain. Itulah pintaku.
“Nis, laporan minggu ini sudah kamu
serahkan ke Pak Fani? Jangan sampai kamu buat masalah lagi dengan beliau lho.
Aku nggak mau ndengerin tangismu lagi, apalagi menyaksikan tingkahmu yang aneh
kayak orang kesambet. Ih, ogah deh”
Aku hanya tersenyum kecil, teringat
kebodohanku saat menghadapi pimpinanku yang satu ini. Super kritis, super pedas
dan tak tampak senyum sekalipun untuk kami. Yang ada tertawaan karena
kesalahanku yang menurutku itu masala sepele. Berbicara tentang beliau, rasanya
semakin membuat hatiku makin panas saja, sudahlah.
Kuberjalan dengan membawa satu map hijau
dan laptop miniku untuk persiapan meeting
siang ini. Tapi sebelumnya, tak lupa aku mampir ke kantin untuk makan siang.
Menu favorit yang hampir tiap hari membuatku menukarnya dengan uang Rp
15.000,00 yaitu nasi goreng pakai sayur dan nggak pakai saos dengan 3-5 lombok
segar yang siap kugigit.
Presentasi pun berjalan lancar, tapi
nggak asyik tanpa kritik dari beliau yang terhormat. Siapa lagi kalau bukan Pak
Fani. Kali ini, giliran bahasa inggrisku yang tak karuan. Salah grammer disana-sini. Bagiku, dimarahi
atau ditegur beliau sudah wajar. Memang sih, aku harus meng-upgrade kemampuang bahasa inggris ku.
Secara, perusahaan ini cukup punya nama besar dan tentunya kesalahan-kesalahan
kecil layaknya yang sering kulakukan tak seharusnya masih ada.
Kerja,
belajar, apapun yang kita lakukan harusnya dikerjakan dengan totalitas, jangan
setengah-setengah. Emangnya kamu mau dapat nilai setengah-setengah? yang
seharusnya dapat 10 jadi 5, emangnya kamu mau dapat cowok setengah-setengah?
setengah laki, setengah perempuan? emangnya kamu mau dicintai
setengah-setengah? pagi cinta, sore benci. Nggak mau kan? Ya sudah, lakukan
saja semaksimal mungkin. Nggak usahlah menuntut nilai terlalu tinggi kalau
memang nggak sesuai dengan yang kamu korbankan. Iya kan?
Kalimat bijak dari si Hadi kembali
melaju kencang dalam saraf otakku. Lagi-lagi aku mengingatnya, mengingat
kalimat-kalimat mutiaranya. Entah sampai kapan aku akan menunggu keadirannya
kembali. Ditengah-tengah harapanku, satu pertanyaan mengusik diriku: kenapa dari dulu aku merasa biasa saja saat
dekat dengannya ya? nasihat-nasihat itu saja yang selalu kuingat. Sekarang,
giliran orangnya nggak ada,eh..malah berharap bisa bertemu kembali.Hemm..aneh!
atau jangan-jangan aku terlalu egois ya? masa’ nggak pernah mikirin perasaan
dia? Aduh…jangan-jangan sebenernya dia?? sebenarnya aku?? Oh No! Ada apa
denganku??
Langkahku terhenti sejenak, sesuatu
telah menghalangi langkahku. Ku pungutlah pena hitam yang jatuh tepat di
depanku dan dengan buru-buru, pemilik pena itu mengambilkan kemudian berlari
sambil berkata Thanks ya!
Siapa
ya orang itu? kayak kenal?Nggak tahu lah..ngapain mikirin orang itu.
***
“Maaf, saya terlambat”, sapa seorang laki-laki berkemeja hijau muda dengan dasinya yang serasi. Tampaknya dia cukup kaget karena di ruangan hanya ada satu orang bapak-bapak yang tengah menata meja rapat. Ditambah lagi ritme nafasnya begitu kencang layaknya orang habis dikejar-kejar penjahat.
“Maaf, saya terlambat”, sapa seorang laki-laki berkemeja hijau muda dengan dasinya yang serasi. Tampaknya dia cukup kaget karena di ruangan hanya ada satu orang bapak-bapak yang tengah menata meja rapat. Ditambah lagi ritme nafasnya begitu kencang layaknya orang habis dikejar-kejar penjahat.
“Maaf Pak, meeting hari ini pindah kemana ya?”
“Dipindah? Maksudnya? Ini saya lagi
menyiapkan ruangan buat meeting”
Ringtone
ponsel berdering
“Iya Pak, saya sudah di ruangan ini Pak?
apa si Hendro nggak berangkat bareng Bapak?”
“Saya kira jam satu Pak… Berarti saya
menunggu disini saja ya Pak?”
Senyuman tipis terlempar ke arah Yeyen
yang lewat di depannya. Usai terputusnya pandangannya, lalu dimainkannya
tombol-tombol ponsel hitam itu.
Setengah jam berlalu, kini kursi-kursi dalam ruangan meeting yang kosong jadi penuh.
Meeting
pun dimulai. Semua pandangan
tertuju pada layar. Presentasi dari partner kerja perusahaan ini berjalan
lancar. Namun, adasatu kejanggalan yang tak biasanya ditemui. Ada sinyal-sinyal
kerinduan yang tampak dari dua orang dalam ruangan itu. Ya, disini lah
pertemuan yang tak sengaja, pertemuan yang sudah lama diharapkan Pak Fani.
Sejak wisuda S2 nya, dia tak bertemu lagi dengan orang ia pandangi saat ini. Sejuta
kalimat terbendung dalam diri Fani. Ingin rasanya, dia menguraikan kalimat itu
berjam-jam bahkan berhari-hari bersama si dia. Namun, dia pun harus rela
menunggu meeting kali ini selesai
demi profesionalitas kerjanya.
“Hadi !!! ”, teriak Pak Fani usai satu
per satu meinggalkan ruang meeting.
Pak Fani pun mendekatinya dengan rasa berbunga-bunga. Senyumnya tak kepalang,
bagai rekahan bunga mawar merah yang segar. Dengan tiba-tiba, dipeluknya si
Hadi erat-erat. Maklum, sudah tujuh tahun mereka tak bersua bahkan tak ada
kabar satu sama lain.
Hadi masih tertegun. Ada keraguan dalam
diri Hadi akan sosok di depannya. Dalam hatinya berkata, “Sepertinya aku kenal bapak ini”
“Maaf Pak, kenapa Bapak menangis?”,
tanya Hadi
“Hadi, ini aku, Fani. Tidakkah kamu
mengingatku?”
“Realy? Alfan Ilyasi? ”
“Iya… Alfan Ilyasi alias Fani si manusia
bola”
“Wow! I’ts amazing! I don’nt believe
it”, sahut si Hadi
Mereka berdua pun akhirnya bisa ngobrol
santai sesuka mereka. Bahkan, ketika pelayan restoran menanyakan menu pesanan
mereka, hampir tak terdenga oleh Fani dan Hadi. Di sini lah, sebuah misteri
hilangnya jejak si Hadi dan sebuah rahasia dibaliknya akan terungkap. Ternyata,
si Hadi secara tiba-tiba pindah tempat tinggal ke Papua. Kala itu, dia tengah
mendapat masalah besar yang menimpa keluarganya sampai-sampai dia kehilangan ponsel-nya karena kecerobohannya yang
makin parah.
“Hadi, taukah engkau? Aku telah lama
menunggunya hingga ia menyadari kalau aku sangat mencintainya. Dulu, kamu yang
menyarankan aku untuk menyampaikan secara langsung padanya, Tetapi sungguh aku
tak sanggup berkata apapun di depannya. Sikapku yang ketus padanya tak juga
hilang dari dulu. Aku ingin bersikap selayaknya orang menunjukkan kasih sayang
pada orang yang amat dicintainya, tapi aku tak bisa”, Fani menghela nafas
kemudian terdiam sejenak.
“Apakah surat yang aku berikan justru
membuatnya illfill ?”, tanya Fani
dengan mimik melas
Mendengar kata “surat”, jantung Hadi
berdegub begitu kencang sampai-sampai keringat dinginnya keluar begitu saja.
Memori daam otaknya berputar kencang, menampilkan rekaman kejadian 7 tahun yang
lalu.
Kala itu, Fani menitipkan sepucuk surat
untuk diberikan pada si Anis, gadis yang ia cintai sejak SD. Fani memang
sengaja tak memberikan langsung padanya, karena memang kampus Fani dan Anis
lintas pulau, sedangkan Hadi satu kampus dengan Anis. Sebenarnya bukan jarak
yang menjadikan Hadi tak menyampaikan langsung. Lagian, si Fani juga dijuluki
manusia bola karena hobinya yang berputar, keliling kota bahkan pulau hingga
pelosok. Hampir setiap tiga bulan sekali, ia mbolang. Seperti halnya yang
diungkapkan si Fani tadi, dia tak mampu menyampaikan isi hatinya secara
langsung, bahkan tersenyum pun hampir tak pernah meskipun sekarang ia bekerja
pada satu perusahaan. Itulah cinta, terkadang mampu empunya kelu, tak berdaya
untuk menyatakannya. Sikapnya yang ketus sejak SD, bukan berarti dia benci pada
Anis, atau dia jahat. Namun, karena Fani memang benci dalam artian begitu mencintainya.
“Hadi..”, tanya si Fani lembut
“Eh..iya.. terus gimana ceritanya?”,
Hadi balik bertanya tanpa tahu apa yang dikatakan Fani barusan. Hadi masih shock mendengar kata surat, ada hal
bodoh yang ia sadari saat ini. Ketika itu memang Hadi menerima surat bersampul
perak yang diberikan sahabatnya kala Hadi menghadiri acara wisuda sahabatnya
itu. Tapi, sesampainya ia di kampusnya kembali ia benar-benar lupa akan surat
itu. Padahal, dia sering sekali bertemu dengan Anis, sering sekali menceritakan
keadaan Anis pada Fani karena itu memang permintaan si Fani agar tetap bisa
menjaga Anis. Setiap kali Anis ada masalah dan menceritakannya pada si Hadi,
Hadi pun menceritakan kembali pada Fani. Dan kalimat-kalimat bijak yang Anis
masih mengingatnya sampai saat ini, itu adalah nasihat Fani pada Anis.
“Ya..sekarang aku emang deket sama dia,
maksudnya tempat kerjaku kan berang dia. Tapi, antara aku dan dia masih tetap nothing special. Kadang aku berpikir,
apa dulu dia mentertawakan isi suratku ya? Emang sih, aku bukan orang yang
puitis dan bukan orang yang romantis. Tapi aku nggak mau pura-pura puitis,
romantis. Itu justru bakalan menyakitkan. Iya kan?”, Fani meneguk jus melonnya
“Atau, dia nggak sudi baca surat itu ya?
Sebenernya dia mau menerimakua atau tidak, itu hak dia. Aku rela kalau misalnya
dia nggak menerimaku. Aku hanya ingin dia tahu kalau akau sangat mencintainya.
Suatu kebahagiaan luar biasa manakala dia mau menjadi pendampingku. Mungkin itu
hanya menjadi mimpiku kali ya…nggak apa lah, yang penting dia bahagia, dia
menjadi lebih baik setiap saat. Bertahun-tahun tak bertemu sejak SMP, sekali
ketemu di kerjaan aku bangga melihatnya. Dia lebih bisa merawat diri, nggak
jorok. Dia bisa perhatian sama kesehatannya sendiri, tanpa ibunya ngomel-ngomel
buat sarapan”
“Wah….perkembangan bagus dong.
Hemm…gitu-gitu juga berkat kamu juga Fan.. Kan kamu yang selalu menasihati dia,
memperhatikannya. Ya, meski nggak langsung si…”
Fani hanya tersenyum.Tampaknya, bebannya
menahan gundahan hatinya sedikit berkurang. Untungnya, dia punya sahabat
seperti Hadi yang pengertian dan baik hati. Berbeda dengan Fani, Hadi justeru
bingung, tak tahu harus mulai darimana untuk menebus kesalahannya karena
kelalaiannya untuk menyampaikan surat itu. Ya, surat yang selama 7 tahun entah
dimana sekarang, ada atau tidak.
Pertemuan Hadi dan Fani dilanjutkan via
ponsel dan YM. Komunikasi mereka kembali lagi seperti waktu kuliah dulu. Hanya
saja, Hadi masih merasa bersalah dan hampir 1 bulan dia mencari surat itu, tapi
tak kunjung ketemu.
***
“Hadi, tolong kamu pelajari lagi ya
konsep dasar polimerisasi. Sepertinya kita perlu mengembangkan material
sebelumnya”, perintah bos pada Hadi
“Iya Pak”, Hadi kemudian menghela nafas.
Dalam hatinya dia berkata OMG..kembali
membuka buku tebal itu lagi. Hemm…it’s oke kalau memang ini tantanganku.
Hadi kemudian menghubungi adiknya di
rumah untuk mengirimkan buku itu. Dalam waktu 2hari akhirnya diterimalah buku
itu. Ia pelajari pelan-pelan, tapi tetep saja katanya susah. Maklum, sudah lama
tak membuka buku itu. Ia pun akhirnya curhat pada Fani seperti halnya ia menyakan
keruwetan mata kuliahnya dulu ke Fani, tapi ya yang didapatkan bukan penjelasan
mata kuliah itu melainkan kalimat motivasi yang pada akhirnya Hadi bisa
menyelesaikannya dengan belajar sendiri. Itulah Fani, jago banget memotivasi
orang meskipun dari luar dia tampak jutek banget.
Di tengah-tengah asyiknya Hadi membuka
bukunya, tiba-tiba jatuhlah benda tipis dari dalam bukunya. Ya, itulah surat
yang selama ini dia cari-cari. Wajah Hadi seketika berubah dengan senyum
lebarnya. Dia pun berputar-putar, meloncat-loncat di kamar tanpa peduli
sekitarnya. Dia mulai memikirkan bagaimana memberikan surat itu pada Anis.
Tampaknya tak mudah bagi Hadi untuk melakukan itu, semua menjadi rumit. Kali
ini, tak mungkin ia curhat pada Fani, justeru dia berfikir bagaimana agar Fani
tak tahu kejadian sebenernya. Hanya gara-gara ia lupa 7 tahun silam, sekarang
ia berpusing-pusing menebus kesalahannya itu.
Sejak pertama bertemu kembali dengan
Fani, tak pernah Hadi bertemu Anis. Mungkin bagi Fani tak sangat aneh jika
mengajak ketemuan dengan Anis karena selama ini dia selalu bersikap jutek,
apalagi mengenalkan Hadi karena selama ini Anis tak tahu kalau Fani mengenal
Hadi. Bagi Hadi, aneh juga jika tiba-tiba minta dipertemukan dengan Anis.
Apakah permintaannya justeru menyakiti perasaan Fani jika dikira Hadi
merindukan Anis?
Dilihatnya seorang gadis cantik berbalut
baju hijau muda mencari-cari sesuatu, tengok kanan-kiri-depan dan belakang.
Anis penasaran kenapa si Yeyen memaksanya datang ke tempat itu. Seorang anak
kecil tiba-tiba datang memberikan kotak kecil padanya. Dibukanya kotak itu,
ternyata nothing special . Bungkusan
koran di dalamnya ia buka, ternyata surat itu yang kudapatkan. Jantungku
berdegub kencang, kucoba duduk di bangku taman itu dan kubuka amplop perak.
Terbacalah coretan pena ini:
Teruntuk: insan istimewa yang telah mengetuk hatiku
Assalamu’alaikum.wr.wb
Wahai
pemilik alis tebal, bagaimanakah kabarmu?Sudah lama ku tak jumpa denganmu.
Mungkin bukan angin yang membawamu jauh dariku, mungkin juga bukan air sungai.
Mungkin bukan burung merpati yang memberiku kabar tentangmu, mungkin saja bukan
spora.
Mungkin
saja pemilik alis tebal yang sedang membaca surat ini terheran-heran atau
bahkan terharu, ku tak tahu. Yang ku tahu,sosokmu membuatku berani menuliskan
kalimat-kalimat ini untukmu seorang. Mungkin saja sejuta laki-laki
mengidolakanmu, mungkin saja sejuta orang tua mengharapmu menjadi menantunya.
Tapi yang pasti, diri ini sungguh mengagumi pribadimu yang tak sekedar kagum.
Diri ini Parasmu sederhana, tapi hatimu sangat amat indah, gemerlap penuh
cahaya. Sosokmu membuatku tak bisa tidur nyaman, tak bisa makan enak manakala
tak ada kabar darimu. Ku ingin selalu menyayangimu, melindungimu dan ku
benar-benar cinta padamu.
Maafkanlah
jika kau tak nyaman dengan kata-kataku ini, jika kau terganggu dengan curahan
hatiku. Ku tak ingin kau bersedih, tak ingin kau susah. Ku hanya ingin
mendengar dan melihatmu bahagia. Bukan maksud hati untuk mengusik ketenanganmu
dengan surat ini. Ku hanya mencoba untuk mengungkapkan isi hatiku.
Bertahun-tahun ku menunggu saat ini, menunggu hingga aku siap mendampingimu
sebagai seorang kepala keluarga.
Wahai
pemilik alis tebal, bolehkah aku memanggilmu dinda? Bersediakah engkau menjadi
pendamping hidupku?
Akan
ku tunggu jawabanmu sampai engkau siap menjawabnya. Ku rela menunggu sampai
kapan pun karena ku tahu, tak mudah memberikan jawan atas pertanyaanku ini
sedangkan engkau tahu bagaimana sikapku padamu sejak pertama kali bertemu.
Sungguh semua itu bukan karena ku benci atau kesal padamu. Ku hanya ingin
engkau menjadi wanita hebat, kuat dan bahagia.
Wassalamu’alaikum.wr.wb
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Membaca surat itu, pikiranku melayang,
berputar tak tahu kemana. Baru kali ini kuterima kata-kata seperti itu. Dalam
keadaanku itu, datanglah seseorang menemuiku.
“Ehm !!!”
Dan kali ini ku makin melayang tinggi,
badanku lemas tak karuan, jantungku berdegub makin kencang, tak terasa air mata
pun membasahi pipiku. Sosok yang di depanku ini akhirnya muncul juga di
hadapanku setelah lama kumenantikan pertemuan ini. Aku rindu akan motivasinya,
perhatian dan pertolongannya. Namun, kenapa Hadi hanya tersenyum kecil? Aku pun
segera menundukkan kepala dan mengusap air mata.
“Anis, sudah kau baca surat itu? Tadi
memang kutitipkan surat itu pada anak kecil untuk memberikan padamu”
Mendengar kalimat itu, ku terperanjat.
Senyumku tak kepalang bagai mendapat runtuhan emas batangan. Ternyata, surat
ini dari Hadi? Untukku?
“Kamu kenal Fani?”
Ku mengangguk dalam kebingungan. Kenapa
ia tiba-tiba menyebut nama Fani?
“Surat itu tulus dibuat oleh Fani untuk
mengungkapkan isi hatinya. Dan surat itu selama 7 tahun tak dibuka dan dibaca
oleh siapapun. Sungguh aku mohon maaf karena aku baru menyampaikan titipan Fani
itu kepadamu”
Perasaanku kacau, pusing, tak tahu
sandiwara apakah ini? Sekenario siapakah ini? Ku dibuat bingung oleh keadaan
ini.
“Maksud kamu?”, ku tanyakan kejelasan
pada Hadi
“Iya, sejak dulu ia mencintaimu hingga
sekarang. Tapi, ia tak bisa menyampaikannya langsung kala itu. Dan saat ini,
dia pun masih menunggu jawaban darimu. Itu yang Fani katakan padaku”
“Bagaimana ku bisa percaya padamu?”
“Tenang, sebentar lagi ada kejutan
buatmu”
Datanglah Fani bersama Yeyen.
“Anis, Hadi? Kalian ngapain berdua
disini? Apa-apaan kamu Hadi?”, tanya Fani ketus
“Kamu lihat kan Anis, dia cemburu
melihat kita berdua. Itu tandanya, dia amat mencintaimu”, kata Hadi pada Anis
“Tenang Pak, Hadi tidak sendirian
kesini. Tuh, tunangannya menunggu di bangku itu”, Yeyen menjelaskan
“Mira, sini dong gabung”
Mira pun ikut bergabung bersama mereka
sekaligus membagikan undangan pernikahannya dengan Hadi.
Kini, aku tak kuat lagi menahan shocking terapy ini. Tiba-tiba mataku
terutup dan ku terjatuh, ku tak sadarkan diri. Dan tahu-tahu aku sudah berada
di rumah. Aku bergegas untuk pulang ke rumah untuk menemui ibuku. Semua ini
terlalu rumit untuk ku pendam sendiri. Saat ini, ku tak peduli dengan mereka
semua. Aku ingin pulang!
***
Ditemani bintang di langit, kuceritakan
semua kejadian itu pada ibuku. Hanya ibuku yang paling mengerti tentangku. Ibu pun
setia mendengarkan ceritaku.
“Mak, lantas harus kuserahkan pada siapa
cintaku ini? Aku masih belum menerima sosok Fani yang selama ini justeru selalu
ketus padaku. Sejak dulu, sejak SD. Sementara selama ini, aku merasa nyaman
dengan Hadi hingga ku sangat merindukannya. Tapi, dia sudah mau menikah”
“Nak, cinta sucimu hanya untuk Sang
Pencipta cinta. Hanya untuk Allah semata. Masalah memilih pasangan hidup,
tanamkanlah bahwa cintamu hanya untuk-Nya. Kamu mencintai suamimu juga sebagai
bukti cintamu pada-Nya”
“Iya Bu, aku tahu. Tapi aku tak tahu
dengan perasaanku saat ini mau dibawa kemana”
“Cintailah orang yang tulus mencintamu,
bukan mengharapkan seseorang yang sudah menjadi milik orang lain karena itu
akan menyakiti hati orang lain. Dan ibu lihat, kamu itu hanya mengagumi
motivasi-motivasi dan perhatian yang Hadi berikan dulu kan? Dan semua itu bukan
murni dari Hadi kan? Melainkan dari Fani. Bisa jadi sebenarnya kamu tak
mencintai Hadi, tapi Fani”
“Nggak tahu mak..“, Ku teteskan air mata
dalam pejamku
“Isikhorohlah untuk meminta yang terbaik
bagimu… Sudah malam, ayo tidur. Kamu butuh istirahat”
Pagi ini, tiba-tiba ada yang mengetuk
pintu rumah. Dia adalah Fani bersama keluarganya. Ku buka pintu itu sekaliyan
aku mau pergi ke kantor pos, mengirim surat balasan. Tapi, orang yang akan
kukirimi surat ternyata sudah ada di depanku. Kali ini beda, tak seperti makan
bakso super pedas, super panas di siang hari tanpa minum. Kebiasaan atmosfer di
antara kami tergantikan oleh sejuknya angin di kala paginya Puncak Bromo,
tetapi seketika berubah lagi menjadi dinginnya es balok Pak Warman hingga semua
organ tubuh tak bisa merasakan rasa. Bibir kelu, tangan kaku dan kaki pun serasa
terbelanggu. Senyuman manis mulai beriringan menyambutku. Sepertinya itu senyum
seorang ibu, bapak, dan kedua kakak Fani.
Hiasan rumah pun menjadi saksi. Uraian
kata yang tersimpan rapi dalam amplop di tangan Anis itu berselancar, berseru
ke telinga setiap orang dalam ruang tamu itu. Satu hal yang dipegang oleh Anis
yaitu nasihat ibunya: “Cintailah orang
yang tulus mencintamu, bukan mengharapkan seseorang yang sudah menjadi milik
orang lain karena itu akan menyakiti hati orang lain”