Saturday, December 7, 2013

Air mata membeku

 
“Guys... lets go on!!”
“Ok brother. Don't allow the time eat you. Hahaha..”
“At which point we will start this expedition?”
Three boys look at a colored map. This map is an absolute thing for them now. It is a guide for looking out all of the passages in this mountain.
“Ah... this point!! ya.. we will start here. It's around 1 km far from here. It is connected to a nice small lake there.”, Sadiq show a picture represent a lake.
“How do you think?”
“Em.. why don't we start from west side of that. It's a shorter distance from the lake. We don't need to take more time”, Aulia try to argue another idea.
“Ok bro!! Briliant idea. I agree with you, Aulia”, anthusiasly Bram state his agreement. But, it's look so bad. He is overacting.
Tegar, Dewi and Muflih are still thinking. They seem so serious. Tegar yang memainkan bolpen di tangannya, diputar putarlah bolpen itu menyerupa dengan baling-baling. Bukan baling-baling pesawat, karena sangat jauh dibandingkan. Seperti baling-baling pesawat mainan yang gagal produksi, berputar tak sempurna. Jangankan sempurna, berputar saja sudah untuk. Bolpen Tegar hanyalah bergerak kanan-kiri dan hanya sesekali hanya berputar. Ah... sudahlah, I think it's not imprtant to discuss about that. Bagaimana degan keseriusan Dewi? Pastinya beda lagi. Ia sibuk dengan jerawatnya. Tangannya tak bisa lepas dari pipi yang penuh jerawat kecil-kecil itu. Dia tampak menikmati aktivitasnya itu. Meraba kulitnya wajahnya dan memaksa pelan isi jerawatnya keluar begitu saja. Sadis... bukan, bukan sadis. Ini hal biasa bagi cewek yang tidak terlalu care pada wajah. Masa bodoh, males merawat wajah. Pernah ku melihat, seorang cewek yang saking asyiknya bermain dengan jerawatnya hingga bercak darah keluar dari lubang jerawat. Huh... berlebihan. Nah.. yang satu ini, Muflih, dia melakukan hal yang paling elegan. Ia mencorat-coret sesuatu entah apa pada block note nya. Tampaknya ia sedang menimang, menimbang untuk memutuskan titik mana yang akan jadi start point mereka. Ia orang yang paling melankolis diantara mereka ber-enam. Segala sesuatu ia rinci sedetail-detailnya. Banyak sekali pertimbangannya, bahkan sampai-sampai teman-temannya sering 'ngerjain' dia karena saking lamanya bertindak. Muflih tak salah, karena tak jarang pula sikapnya ini menyelamatkan petualangan mereka. Complete. Satu tim yang karakter tokohnya bermacam-macam. Ada yang slengekan1) , serius, emosional, humoris, dll.
Wait.. ah.. Look at this picture!. It shows that it's difficult to pass the way to lake from Aulia's start point. We have to walk thourgh a long deep river. I think better use Sidiq's rute”, Muflih try to explain.
“Walking through a river is nice, right?”, Dewi said.
“Not all river Dewi.. this river is so deep. And I hear that it's an horor river”
Huh... that's a mitos. Why do you still believe that?”, Bram add his argument. This time, he think rational, not like an usual. Bram is a bizard person. He always think out of the box. Thinking out of the box is good, actually. But, his thinking often make their friends become confuse. His thinking is abstract, can not be accepted by brain. Hemm.. Bram, however, he is a kind boy. Within so many bad comments, he is still calm down. What a stabil emotion.
Well, akhirnya diputuskan bahwa mereka melalui jalur usulan Sidiq.
An expedition is started ~
Rombongan dengan tas ransel masing-masing berduyun-duyun menaiki kaki gunung. Semangat membara yang terukir di butiran keringat mereka, membuat lelahnya perjalanan tak kerasa. Katanya demikian. Meski berkilometer berjalan dengan berlawanan elevasi ketinggian, tetap saja canda tawa tak hilang. Justeru, canda tawa sebagai penawar lelah mereka; selain air minun tentunya. Wah.... sepertinya asik mendaki bersama-sama. Seru, menyenangkan.
“Ayo guys.. kita taklukan lereng ini..”, seru Bram untuk menyemangati teman-temannya yang mulai tampak letih.
Satu langkah, dua langkah, hingga ribuan langkah kaki telah mereka tinggalkan sebagai jejak sang petualang. Jejak; saksi buta perjalanan mereka. Jejak yang tak kan mereka lupakan meski jejak itu sendiri hilang bersama guyuran air hujan ataupan tiupan debu.
“Lih.. liatin tuh si Aulia. Sampe minta foto sama jejak kakinya. Hemm..narsis...narsis”, ucap si Sidiq pada Muflih.
“Bro... gimana kalo kamu fotoin aku juga ma jejak yang ini ni!!”, Muflih malah terinspirasi dari Aulia untuk foto bareng si jejak kaki yang ditunjuknya.
“Weeh... kok malah kamu ikutan narsis gitu Bro. Tumben?? kesambet setan mana ini?”, ujar Sidiq sambil memegang dahi Muflih yang tumben-tumbenan nggak fobi-kamera.
“Aku ingin mengabadikan pengalaman ini. Aku tak mau kenanganku bersama kalian hanyut bersama hujan yang meghaous jejak ini nantinya”
“Super sekali Bung Muflih ini. Ayo lah.. boleh juga tuh foto rame-rame.”, usul Tegar sambil menepuk pundak Sidiq. Si Sidiq yang tapak masih bingung pun mengiyakannya.
“Iii... ya deh. Ayo”
Satu....dua...tiiigaaa.... cheese...huwaaa....oowwooo.. bermacam-macam gaya mereka keluarkan, serasi dengan perjalanan mereka. Happ... a nice photo shoot dengan dedaunan sebagai tripot-nya.
Perjalan pun dilanjutkan. Target mereka, harus sampai puncak saat sunrise. Merekam keindahan sang surya dari puncak. Mulai dari aspal, rumput, tanah liat, sungai, kerikil, debu, hingga bebatuan besar menemani mereka. Jalanan ii bukan jalan tol yang mulus lancar tanpa hambatan, bukan pula jalannan di pasar malam untuk bersantai sambil menikmati jamuan pasar baik makanan hingga sepatu dan mainan sekalipun. Jalanan ini jalanan penuh rintangan tetapi juga penuh kesegaran dan keindahan alam di dalamnya. Ada jurang, bebatuan besar, rawa, jalan licin, ada ular, ada kalajengking, dan banyak hewan liar lainnya. Dan semoga tak ada bajak hutan yang siap menghabisi mangsanya.
“Aaaaaaaaaaaaaa.......”, teriak Dewi begitu histeris. Memecah keheningan hutan dan seisinya. Di depannya melintas seekor ular besar dan hampir tak tampak oleh mata karena kulitnya yang menyeruapi dedaunan kering; coklat-krem. Untuk saja si ular tak ikut kaget karena teriakan Dewi. Jika iya.. bisa jadi si ular malah melopat ke tubuh Dewi. Bagaimana jadinya nanti? Tidak tahu. Bram mencoba menyingkirkan ular itu, tapi sudah keburu Sidiq melakukannya. Dewi masih lemas karena shock hampir menginjak ular. Diteguknya air putih dari botol minum Aulia. Aulia pun menenangkan Dewi sebisanya.
“Sudah lah Wi.. baru gitu aja. Ayo dong.. berani!”, tegur Sidiq setelah menyelesaikan urusannya dengan si ular.
“Iya.. tapi aku kan kaget. Orang nggak keliatan tiba-tiba nongol di depan.”, bantah Dewi sambil sesenggukan.
Sidiq acuh, mungkin sedikit kesal. Atau hanya ekspresinya saja yang memang begitu-begitu saja; datar. Yang lain tampak bengong dengan perkataan Sidiq. Tapi sudahlah.. baru seperempat perjalanan. Perjalanan masih panjang. Jika sudah patah semangat gara-gara hal sepele seperti ini, berarti tak berbakat mendaki, tak berbakat mengukir jejak keemasan, tak berbakat menjadi orang sukses. Lets moving forward. Lanjutkan.
Hari semakin gelap, mentari perlahan mundur dari penglihatan manusia. Angin berhembus makin kencang, menembus sela-sela pepohonan dan dedaunan yang rindang. Tak tampak lagi kesegaran dedaunan hijau sejak dari pagi tadi. Dedaunan itu pun istirahat, berhenti sejenak dari tugasnya membentuk cadangan makanan; yang katanya anak sekolahan biasa disebut fotosintesis. Di perkampungan bawah sana, pastinya orang-orang juga pada istirahat dari aktivitas siang mereka; bekerja. Malam hari lebih dikenal sebagai waktu istirahat. Ya, manusia dan makhluk lainnya termasuk matahari pun beristirahat, menyiapkan kesibukan besok harinya.
“Udah gelap ni Diq. Istirahat dulu yuk, kita lanjutkan besok. Rasanya tempat ini cocok untuk kita buat tenda”, ujar Tegar.
“Ah... ok, setuju. Gimana teman-teman? Kita istirahat disini ya?”, tanya Sidiq pada teman-temannya.
Semua mengiyakannya dengan gaya bahasa tubuh masing-masing.
Tenda bercorak army telah terpasang kuat. Lengkap tungku kecil buatan Muflih dan Sidiq di depan tenda. Malam ini nampak cerah dihiasi kelap-kelip bintang dan cahaya bulan. Para pembuat jejak ini juga tak kalah ceria. Mereka tampak segar kembali setelah bersih-bersih dan mengisi energi dengan bekal yang dibawa.
Jreng=jreng=jreng,...
Dipetiklah sebuah gitar; mengisi kesunyian malam di hutan. Sempat-sempatnya bawa gitar? Mendaki atau camping ya? Itulah mereka. Tak salah jika bawaan mereka banyak, sampai gitar saja dibawa. Gitar, api unggun, coklat panas; kombinasi yang manatab. Tak hanya itu, jagung bakar, ikan bakar, ubi bakar, juga bisa jadi pilihan menu malam ini.
“Wah... banyak juga pilihannya, seperti warkop saja.”, ujar Muflih.
“Hidup ini jangan dibikin susah boss. Ada rejeki banyak.. yang disyukuri.. ada rejeki sedikit.. yang jangan mau”, sambut Bram
“Loh kan rejeki sedikit juga harus disyukuri. Sudah untuk diberi rejeki, diberi ubi mentah aja. Nah, kalau nggak ada?”, kata Muflih.
“Loh.. pak ustad Muflih ini gimana. Kalau dikasi rejeki sedikit ya jangan mau. Harus yang banyak. Artinya kalau rejeki kita sedikit ya cari lagi dong. Jangan nyerah pada yang sedikit tadi”. Bantah Bram.
“Bukannya itu sama saja rakus ya? Udah dikasi jatah sedikit maunya segudang. Kalau yang sedikit cukup, kenapa harus cari lagi”. Tambah si Dewi.
“Sebentar teman-teman, jangan pada salah paham dulu. Gini lho, intinya itu semangat untuk mendapatkan rejeki lebih. Tidak stag, berhenti pada keadaan sedikit itu tadi. Kadang kita sebenarnya mampu mendapatkan lebih, tapi malas-malasan untuk mengejar itu. Semangatnya bro.. sist.. semangatnya”, Bram yang merasa dipojokkan tampak gigih dengan pendapatnya.
“I agree with you, Bram”, sebut Sidiq. Sidiq kemudian berdehem dan melanjutkan kalimatnya, “Dalam mencari rejeki atau dalam melakukan hal apapun, janganlah setengah-setengah. Full out. Saat kita bisa melakukan lebih, kenapa tidak? Jangan pernah puas dengan perolehan kita yang terbatas, dengan karya yang terbataas.”
“Tetep saja aku belum setuju dengan kamu dan Bram.”, kata Aulia.
“Seperti ini mbak mas.. saya belum selesai. Dalam hal mencari rejeki, kita diperbolehkan mencari sebanyak-banyaknya asalkan harta yang kita peroleh itu tidak hanya untuk kepentingan pribadi kita. Kalau cari harta segunung tapi dipakai sendiri, itu memang rakus namanya. Tetapi saat harta itu digunakan untuk membantu orang lain, untuk kepentingan yang baik bagi banyak orang maka inilha yang diharapkan. Semangat mencari harta banyak dengan landasan semangat memberikan kemanfaatan yang lebih banyak pula untuk orang lain.”, jelas Sidiq.
“Ok, kalau yang ini masih lebih bisa dimengerti.”, kata Aulia.
“Maksudku tadi juga seperti itu..”, sambut Bram yang nggak mau kalah benarnya.
Semua tersenyum dengan ucapan Bram tadi. Semoga memang demikian yang Bram maksud. Just not fo a pretice.
Dari topik satu hingga topik kesekian mereka asik berdiskusi dan sambil bergurau tentunya. Kebersamaan mereka begitu hangat, tak kalah hangat dengan pancaran api unggun. Bagaikan satu keluarga.
Dingin begitu mencekam di tengah malam. Tak hanya menggigil, bahkan sakitnya menusuk ke tulang-tulang. Di tengah dingin yang amat itu, tampak sosok bayangan yang sedang melakukan gerak naik-turun, lebih tepatnya gerakan sholat. Sambil tertatih-tatih, sosok itu berulang kali melakukan gerakan yang sama. Begitu hidmat. Semakin dekat jarak pengamatanku, semakin terlihat jelas guratan pilu dan haru bercampur di wajah sosok itu.
Mulutnya tak henti berucap doa, sorot matanya menggambarkan pengharapan yang begitu mendalam, tampak pula sesenggukan, tetapi tanpa air mata yang menetes. Mengapa? ah... mungkin karena dinginnya udara tengah malam segera membekukan air mata yang keluar? Benarkah demikian? Rasanya kurang bisa dipercaya.. Begitu kuatnya “dingin malam” membekukan air mata atau begitu lemahnya air mata hingga dengan mudah terbekukan? Entah.. yang jelas air mata pun merupakan sumber kekuatan. Kekuatan yang bisa menjadikan pemiliknya mampu bertahan dari segala kondisi yang ia alami. Keluarnya air mata bisa meluruhkan beban batin. Tak hanya berlaku bagi perempuan, pun kaum adam pun demikian.

No comments:

Post a Comment