“Guys... lets go on!!”
“Ok brother. Don't allow the time eat you. Hahaha..”
“At which point we will start this expedition?”
Three boys look at a colored map. This map is an absolute thing for
them now. It is a guide for looking out all of the passages in this
mountain.
“Ah... this point!! ya.. we will start here. It's around 1 km far
from here. It is connected to a nice small lake there.”, Sadiq show
a picture represent a lake.
“How do you think?”
“Em.. why don't we start from west side of that. It's a shorter
distance from the lake. We don't need to take more time”, Aulia try
to argue another idea.
“Ok bro!! Briliant idea. I agree with you, Aulia”, anthusiasly
Bram state his agreement. But, it's look so bad. He is overacting.
Tegar, Dewi and Muflih are still thinking. They seem so serious.
Tegar yang memainkan bolpen di tangannya, diputar putarlah bolpen itu
menyerupa dengan baling-baling. Bukan baling-baling pesawat, karena
sangat jauh dibandingkan. Seperti baling-baling pesawat mainan yang
gagal produksi, berputar tak sempurna. Jangankan sempurna, berputar
saja sudah untuk. Bolpen Tegar hanyalah bergerak kanan-kiri dan hanya
sesekali hanya berputar. Ah... sudahlah, I think it's not imprtant
to discuss about that. Bagaimana
degan keseriusan Dewi? Pastinya beda lagi. Ia sibuk dengan
jerawatnya. Tangannya tak bisa lepas dari pipi yang penuh jerawat
kecil-kecil itu. Dia tampak menikmati aktivitasnya itu. Meraba
kulitnya wajahnya dan memaksa pelan isi jerawatnya keluar begitu
saja. Sadis... bukan, bukan sadis. Ini hal biasa bagi cewek yang
tidak terlalu care
pada wajah. Masa bodoh, males merawat wajah. Pernah ku melihat,
seorang cewek yang saking asyiknya bermain dengan jerawatnya hingga
bercak darah keluar dari lubang jerawat. Huh... berlebihan. Nah..
yang satu ini, Muflih, dia melakukan hal yang paling elegan. Ia
mencorat-coret sesuatu entah apa pada block note nya.
Tampaknya ia sedang menimang, menimbang untuk memutuskan titik mana
yang akan jadi start point mereka.
Ia orang yang paling melankolis diantara mereka ber-enam. Segala
sesuatu ia rinci sedetail-detailnya. Banyak sekali pertimbangannya,
bahkan sampai-sampai teman-temannya sering 'ngerjain' dia karena
saking lamanya bertindak. Muflih tak salah, karena tak jarang pula
sikapnya ini menyelamatkan petualangan mereka. Complete.
Satu tim yang karakter tokohnya
bermacam-macam. Ada yang slengekan1) ,
serius, emosional, humoris, dll.
“Wait.. ah.. Look at this
picture!. It shows that it's difficult to pass the way to lake from
Aulia's start point. We have to walk thourgh a long deep river. I
think better use Sidiq's rute”, Muflih try to explain.
“Walking through a river is nice, right?”, Dewi said.
“Not all river Dewi.. this river is so deep. And I hear that it's
an horor river”
“Huh... that's a mitos. Why do you
still believe that?”, Bram add his argument. This time, he think
rational, not like an usual. Bram is a bizard person. He always think
out of the box. Thinking out of the box is
good, actually. But, his thinking often make their friends become
confuse. His thinking is abstract, can not be accepted by brain.
Hemm.. Bram, however, he is a kind boy. Within so many bad comments,
he is still calm down. What a stabil emotion.
Well, akhirnya diputuskan bahwa mereka melalui jalur usulan Sidiq.
An expedition is started ~
Rombongan dengan tas ransel masing-masing berduyun-duyun menaiki kaki
gunung. Semangat membara yang terukir di butiran keringat mereka,
membuat lelahnya perjalanan tak kerasa. Katanya demikian. Meski
berkilometer berjalan dengan berlawanan elevasi ketinggian, tetap
saja canda tawa tak hilang. Justeru, canda tawa sebagai penawar lelah
mereka; selain air minun tentunya. Wah.... sepertinya asik mendaki
bersama-sama. Seru, menyenangkan.
“Ayo guys.. kita taklukan lereng ini..”, seru Bram untuk
menyemangati teman-temannya yang mulai tampak letih.
Satu langkah, dua langkah, hingga ribuan langkah kaki telah mereka
tinggalkan sebagai jejak sang petualang. Jejak; saksi buta perjalanan
mereka. Jejak yang tak kan mereka lupakan meski jejak itu sendiri
hilang bersama guyuran air hujan ataupan tiupan debu.
“Lih.. liatin tuh si Aulia. Sampe minta foto sama jejak kakinya.
Hemm..narsis...narsis”, ucap si Sidiq pada Muflih.
“Bro... gimana kalo kamu fotoin aku juga ma jejak yang ini ni!!”,
Muflih malah terinspirasi dari Aulia untuk foto bareng si jejak kaki
yang ditunjuknya.
“Weeh... kok malah kamu ikutan narsis gitu Bro. Tumben?? kesambet
setan mana ini?”, ujar Sidiq sambil memegang dahi Muflih yang
tumben-tumbenan nggak fobi-kamera.
“Aku ingin mengabadikan pengalaman ini. Aku tak mau kenanganku
bersama kalian hanyut bersama hujan yang meghaous jejak ini nantinya”
“Super sekali Bung Muflih ini. Ayo lah.. boleh juga tuh foto
rame-rame.”, usul Tegar sambil menepuk pundak Sidiq. Si Sidiq yang
tapak masih bingung pun mengiyakannya.
“Iii... ya deh. Ayo”
Satu....dua...tiiigaaa.... cheese...huwaaa....oowwooo..
bermacam-macam gaya mereka keluarkan, serasi dengan perjalanan
mereka. Happ... a nice photo shoot dengan dedaunan sebagai
tripot-nya.
Perjalan pun dilanjutkan. Target mereka, harus sampai puncak saat
sunrise. Merekam keindahan sang surya dari puncak. Mulai dari aspal,
rumput, tanah liat, sungai, kerikil, debu, hingga bebatuan besar
menemani mereka. Jalanan ii bukan jalan tol yang mulus lancar tanpa
hambatan, bukan pula jalannan di pasar malam untuk bersantai sambil
menikmati jamuan pasar baik makanan hingga sepatu dan mainan
sekalipun. Jalanan ini jalanan penuh rintangan tetapi juga penuh
kesegaran dan keindahan alam di dalamnya. Ada jurang, bebatuan besar,
rawa, jalan licin, ada ular, ada kalajengking, dan banyak hewan liar
lainnya. Dan semoga tak ada bajak hutan yang siap menghabisi
mangsanya.
“Aaaaaaaaaaaaaa.......”, teriak Dewi begitu histeris. Memecah
keheningan hutan dan seisinya. Di depannya melintas seekor ular besar
dan hampir tak tampak oleh mata karena kulitnya yang menyeruapi
dedaunan kering; coklat-krem. Untuk saja si ular tak ikut kaget
karena teriakan Dewi. Jika iya.. bisa jadi si ular malah melopat ke
tubuh Dewi. Bagaimana jadinya nanti? Tidak tahu. Bram mencoba
menyingkirkan ular itu, tapi sudah keburu Sidiq melakukannya. Dewi
masih lemas karena shock hampir menginjak ular. Diteguknya air
putih dari botol minum Aulia. Aulia pun menenangkan Dewi sebisanya.
“Sudah lah Wi.. baru gitu aja. Ayo dong.. berani!”, tegur Sidiq
setelah menyelesaikan urusannya dengan si ular.
“Iya.. tapi aku kan kaget. Orang nggak keliatan tiba-tiba nongol di
depan.”, bantah Dewi sambil sesenggukan.
Sidiq acuh, mungkin sedikit kesal. Atau hanya ekspresinya saja yang
memang begitu-begitu saja; datar. Yang lain tampak bengong
dengan perkataan Sidiq. Tapi sudahlah.. baru seperempat perjalanan.
Perjalanan masih panjang. Jika sudah patah semangat gara-gara hal
sepele seperti ini, berarti tak berbakat mendaki, tak berbakat
mengukir jejak keemasan, tak berbakat menjadi orang sukses. Lets
moving forward. Lanjutkan.
Hari semakin gelap, mentari perlahan mundur dari penglihatan manusia.
Angin berhembus makin kencang, menembus sela-sela pepohonan dan
dedaunan yang rindang. Tak tampak lagi kesegaran dedaunan hijau sejak
dari pagi tadi. Dedaunan itu pun istirahat, berhenti sejenak dari
tugasnya membentuk cadangan makanan; yang katanya anak sekolahan
biasa disebut fotosintesis. Di perkampungan bawah sana,
pastinya orang-orang juga pada istirahat dari aktivitas siang mereka;
bekerja. Malam hari lebih dikenal sebagai waktu istirahat. Ya,
manusia dan makhluk lainnya termasuk matahari pun beristirahat,
menyiapkan kesibukan besok harinya.
“Udah gelap ni Diq. Istirahat dulu yuk, kita lanjutkan besok.
Rasanya tempat ini cocok untuk kita buat tenda”, ujar Tegar.
“Ah... ok, setuju. Gimana teman-teman? Kita istirahat disini ya?”,
tanya Sidiq pada teman-temannya.
Semua mengiyakannya dengan gaya bahasa tubuh masing-masing.
Tenda bercorak army telah terpasang kuat. Lengkap tungku kecil
buatan Muflih dan Sidiq di depan tenda. Malam ini nampak cerah
dihiasi kelap-kelip bintang dan cahaya bulan. Para pembuat jejak ini
juga tak kalah ceria. Mereka tampak segar kembali setelah
bersih-bersih dan mengisi energi dengan bekal yang dibawa.
Jreng=jreng=jreng,...
Dipetiklah sebuah gitar; mengisi kesunyian malam di hutan.
Sempat-sempatnya bawa gitar? Mendaki atau camping ya? Itulah
mereka. Tak salah jika bawaan mereka banyak, sampai gitar saja
dibawa. Gitar, api unggun, coklat panas; kombinasi yang manatab. Tak
hanya itu, jagung bakar, ikan bakar, ubi bakar, juga bisa jadi
pilihan menu malam ini.
“Wah... banyak juga pilihannya, seperti warkop saja.”, ujar
Muflih.
“Hidup ini jangan dibikin susah boss. Ada rejeki banyak.. yang
disyukuri.. ada rejeki sedikit.. yang jangan mau”, sambut Bram
“Loh kan rejeki sedikit juga harus disyukuri. Sudah untuk diberi
rejeki, diberi ubi mentah aja. Nah, kalau nggak ada?”, kata Muflih.
“Loh.. pak ustad Muflih ini gimana. Kalau dikasi rejeki sedikit ya
jangan mau. Harus yang banyak. Artinya kalau rejeki kita sedikit ya
cari lagi dong. Jangan nyerah pada yang sedikit tadi”. Bantah Bram.
“Bukannya itu sama saja rakus ya? Udah dikasi jatah sedikit maunya
segudang. Kalau yang sedikit cukup, kenapa harus cari lagi”. Tambah
si Dewi.
“Sebentar teman-teman, jangan pada salah paham dulu. Gini lho,
intinya itu semangat untuk mendapatkan rejeki lebih. Tidak stag,
berhenti pada keadaan sedikit itu tadi. Kadang kita sebenarnya
mampu mendapatkan lebih, tapi malas-malasan untuk mengejar itu.
Semangatnya bro.. sist.. semangatnya”, Bram yang merasa dipojokkan
tampak gigih dengan pendapatnya.
“I agree with you, Bram”, sebut Sidiq. Sidiq kemudian berdehem
dan melanjutkan kalimatnya, “Dalam mencari rejeki atau dalam
melakukan hal apapun, janganlah setengah-setengah. Full out. Saat
kita bisa melakukan lebih, kenapa tidak? Jangan pernah puas dengan
perolehan kita yang terbatas, dengan karya yang terbataas.”
“Tetep saja aku belum setuju dengan kamu dan Bram.”, kata Aulia.
“Seperti ini mbak mas.. saya belum selesai. Dalam hal mencari
rejeki, kita diperbolehkan mencari sebanyak-banyaknya asalkan harta
yang kita peroleh itu tidak hanya untuk kepentingan pribadi kita.
Kalau cari harta segunung tapi dipakai sendiri, itu memang rakus
namanya. Tetapi saat harta itu digunakan untuk membantu orang lain,
untuk kepentingan yang baik bagi banyak orang maka inilha yang
diharapkan. Semangat mencari harta banyak dengan landasan semangat
memberikan kemanfaatan yang lebih banyak pula untuk orang lain.”,
jelas Sidiq.
“Ok, kalau yang ini masih lebih bisa dimengerti.”, kata Aulia.
“Maksudku tadi juga seperti itu..”, sambut Bram yang nggak mau
kalah benarnya.
Semua tersenyum dengan ucapan Bram tadi. Semoga memang demikian yang
Bram maksud. Just not fo a pretice.
Dari topik satu hingga topik kesekian mereka asik berdiskusi dan
sambil bergurau tentunya. Kebersamaan mereka begitu hangat, tak kalah
hangat dengan pancaran api unggun. Bagaikan satu keluarga.
Dingin begitu mencekam di tengah malam. Tak hanya menggigil, bahkan
sakitnya menusuk ke tulang-tulang. Di tengah dingin yang amat itu,
tampak sosok bayangan yang sedang melakukan gerak naik-turun, lebih
tepatnya gerakan sholat. Sambil tertatih-tatih, sosok itu berulang
kali melakukan gerakan yang sama. Begitu hidmat. Semakin dekat jarak
pengamatanku, semakin terlihat jelas guratan pilu dan haru bercampur
di wajah sosok itu.
Mulutnya tak henti berucap doa, sorot matanya menggambarkan
pengharapan yang begitu mendalam, tampak pula sesenggukan, tetapi
tanpa air mata yang menetes. Mengapa? ah... mungkin karena dinginnya
udara tengah malam segera membekukan air mata yang keluar? Benarkah
demikian? Rasanya kurang bisa dipercaya.. Begitu kuatnya “dingin
malam” membekukan air mata atau begitu lemahnya air mata hingga
dengan mudah terbekukan? Entah.. yang jelas air mata pun merupakan
sumber kekuatan. Kekuatan yang bisa menjadikan pemiliknya mampu
bertahan dari segala kondisi yang ia alami. Keluarnya air mata bisa
meluruhkan beban batin. Tak hanya berlaku bagi perempuan, pun kaum
adam pun demikian.
No comments:
Post a Comment