Teringat dua bocah tengah
berlarian di ruang tegah sebuah rumah. Gadis kecil berkaos biru motif pikachu
terus berlari mengejar lawannya yang berkaos merah bermotif sama. Tampaknya, mereka
sedang memperebutkan sesuatu. Tak hanya gaduh langkah kaki yang terdengar.
Sahuttan teriak dari keduanya pun terdengar lebih kencang.
“Mae... mae...”, teriak
anak berkaos merah, memanggil-manggil ibunya.
“Hiyo kowe.. mene...
balike...”, (1 , sahut anak berkaos biru.
Di tengah lariah mereka,
tampak sebuah boneka karet berukuran mini tergeletak di lantai, tak pada
tempatnya. Boneka itu tiba-tiba menyentuh kaki si kaos merah yang sedang
berlari kencang. Terjatuhlah anak itu, tersungkur di lantai plester abu-abu.
“Aaa... huhuhung..umm..”,
teriak tagis si kaos merah, kencang, begitu kencang. Wajarnya, lututnya lecet.
Tak hanya itu, bibirnya pun merah berlumur darah karena bibirnya bagian dalam
sobek, terjebit oleh gigi begitu keras.
“Mbak Kirani nakal..... ” ,
ucap dia sambil menangis, ucapannya pu tak terdengar jelas.
Si Kirani, bocah berkaos
biru tampak kaget. Wajahnya yang tadinya penuh emosi mengejar adiknya, seketika
menjadi pucat, membisu melihat darah dari mulut adiknya. Perlahan Kirani
mendekat, mengelus pundak adiknya pelan sambil berkata,
“Sssstttt.... diam dek..
nanti dimarahin ibu.”, kata Kirani.
Dengan pelan
diuasapkannya bagian depan kaos adiknyapada bibir yang berdarah itu. Tangis
adiknya semakin kencang, munngkin karena sakit. Kirani bingung. Diambilnya lah
sebuah coklat merek “Bronz” yang terjatuh dari tangan si adik. Kemudian coklat
itu diberikannya kepada Lilis, adiknya. Ternyata coklat ini lah yang menjadi
penyebab utama mereka berkejaran.
“Ssssttt.... diam dek...
diam...”
Belum sempat Lilis diam,
sang iu datang.
“Ada apa ini? Mbak Kirani
nakal ya?”
Dengan tegas Kirani
menjawab,
“Nggak kok Bu. Lilis yang
ngrebut coklat itu”, kata Kirani sambil menunjuk coklat yang dipegang Lilis.
“Ini kan punyaku”, sahut Lilis
“Bukan.. itu punyaku”,
balas Kirani
Lagi-lagi bertengkar.
Bagi mereka, tiada hari tanpa tengkar. Sang ibu, yang sudah terbiasa dengan itu
tampak lihai mendamaikan keduanya.
“Hayo... yang mulai siapa
tadi?”, tanya ibu
“Lilis...”, kata Kirani..
“Kirani kok...”, kata Lilis
keduanya saling menuduh.
Jika dibiarkan, biasanya bakalan looping, muter terus tanpa berujung.
“Sudah sudah... sama
saja. Yang memulai ya salah, yang diledek juga harusnya nggak usah mbales
ngledek. Udah ya... damai ya.. ayo salaman”
Dengan muka cemberut
keduanya salaman. Ibu pun segera menuntun keduanya.
Langit semakin gelap.
Mereka berdua kini tampak akur. Keduanya tak lagi tampak kusut dan kumus-kumus,
melainkan sudah wangi khas bedak “Okana” dan aroma minyak kayu putih. Kirani
memakai rok susun hujau tua bermotif semacam daun teh dan kaos putiih,
sedangkan Lilis mengenakan rok susun bermotif bunga mawar dan kaos pink. Keduanya
duduk bersama, asik bermain “congklak”. Ibu pun tersenyum dari kejauhan.
No comments:
Post a Comment