Wednesday, October 5, 2011

ASA KIRTA

Terik matahari begitu menyengat kulit. Fatamorgana menjadi pemandangan indah siang ini. Menuju tikungan di depan SMP Negeri 4 Petarukan tampak pula pemandangan yang khas. Hamparan padi menghiasi sepanjang tepi jalan untuk dikeringkan, yang kemudian biasanya disimpan di dalam lumbung padi masing-masing warga Desa Panjunan. Setiap orang yang lewat berhati-hati agar tidak menginjak gabah karena itu adlah sumber makan mereka sendiri. Derap langkah kaki bersepatu cats hitam semakin cepat, lari-lari kecil, bahkan sesekali melompat-lompot kecil. Pemilik kaki itu tampak senyum-senyum sendiri, bahkan sesekali bernyanyi-nyanyi. ‘Senangnya hatiku…(soundtrek iklan inzana)’. Langkah itu berhenti di depan pintu rumah papan berwarna putih. Dibukanya pintu rumah dan kaki itu kembali melangkah diiringi teriakan ‘Ibu, Kirta pulang…’. Dilihatnya ruangan depan berukuran 3x4 meter itu sekilas oleh Kirta. Namun, tak ada seorang pun di sana. Yang ada hanyalah satu set meja kursi tamu buatan ayah Kirta sendiri, jam dinding, tiga buah kaligrafi yang Kirta buat dalam waktu satu malam, saat dia masih duduk di bangku SD kelas enam.

Kirta kemudian mencari ibunya ke kamar satu-satunya di rumah itu. Suasana kamar hening, pintu dan jendela dalam keadaan terbuka. Tak ada pencahayaan kecuali cahaya matahari. Satu kursi kayu sederhana berwarna coklat tua berada di sebelah tempat tidur. Kurs itulah tempat makanan ibunya disediakan saat sakit. Di situ ada segelas air putih dan obat yang biasa diminum sang ibu. Kirta membuka tirai kamar tidur dan seketika itu, mata Kirta tiba-tiba menjadi sayu, badannya lemas dan lututnya terlipat menyentuh tanah. Ibunya tak sadarkan diri, terkapar di kasur dengan posisi kaki menyentuh tanah. Kirta langsung memeluk dan menggoyang-goyangkan badan ibunya. Kirta yang biasanya gesit dalam bertindak, kini ia bingung dan tak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia hanya terdiam memandang ibunya yang tak bergeming sama sekali. Namun, kejadian itu hanya berlangsung satu menit saja. Sang ibu akhirnya membuka mata dan dengan suara llirih mberkata ‘Kirta…’. Kirta pun kembali menampakkan senyuman manisnya. Kirta menaikkan kaki ibunya ke atas kasur, membenarkan posisi tidur ibunya dan memberikan segelas air putih. Pelan-pelan Kirta menanyakan kepada sang Ibu kenapa beliau bisa pingsan sembari memijit kaki ibunya. Sang ibu tak berani berkata. Pandangannya masih kosong, terukir wajah sedih yang sangat. Beliau hanya menunjukkan layar HP yang masih digenggamnya. Rupanya ‘sms’ itu lah yang membuat ibu Kirta pingsan.

Assalam…bu, ngpunten. Niki wonten kbar, bpk ktabrak truk teng perjlnan kondur n gbs trtolong lg. ngenjang jnazah diteraken mriku. Sing sbar nggeh bu…’

Membaca sms itu, Kirta mendadak lemes lagi. Dadanya berdetak kencang, tangnnya gemetar dan sontak HP jatuh dari tangannya. Segera ia mengambil HP itu dan juga dua benda yang sebenarnya akan dia tunjukkan kepada ibu dan ayahnya. Tapi sayang, saat ayahnya hendak pulang ke rumah, beliau mengalami kecelakaan. Dua benda itu adalah surat tagihan pembayaran SPP dan sertifikat juara 1 kompetisi karya ilmiah remaja. Ibunya berusaha duduk, bersandar pada dinding kamar dengan pengganjal bantal berwarna hijau muda dan meminta dua benda itu dari Kirta. Tangannya masih lemas hanya untuk meraih dua benda ringan itu. Diangkatnya dua benda itu dan dibaca pelan-pelan. ‘…Surat Tagihan…belum melunasi pembayaran SPP selama lima bulan…’ kemudian yang satu lagi tertera ‘…Kirta Anandiawan sebagai Juara 1 kompetisi karya ilmiah remaja 2009…’. Dua hal yang membuat dileme antara menangis dan tersenyum, ditambah lagi musibah yang baru tiba yaitu kepergian bapak Kirta. Perasaan keduanya menjadi tidak karuan. Keduanya kemudian saling berpelukan dan melepaskan tangis mereka. Setelah lama menangis, ibunya pertama kali melepas pelukannya, wajahnya berubah. Sekarang terukir kekuatan yang sangat besar, sebuah tekad kuat dan harapan. Ibunya mengatakan bahwa ini bukanlah akhir dari segalanya. Ini bukanlah penderitaan yang berarti. Ini bukanlah penghalang untuk maju. Ini bukanlah suatu bahaya, tetapi ini adalah obor penyemangat, sebuah tantangan untuk menjadikan mereka mulia, sebuah harapan pada ereka untuk mampu bangkit dan segera menebarkan kebaikan pada orang lain. Ibunya sangat tegas menasihati Kirta, tanpa air mata. Ibunya bahkan bercerita tatkala sang ibu harus rela nyemplung di sawah dini hari saat orang-orang masih tertidur, mencari kayu bakar di bawah terik matahari, memetik sayuran di sore hari dan menyiapkan barang dagangan hingga malam hari, tetapi ibu bisa melaluit itu. Kirta semakin sedih dan menundukkan kepala. Ibunya melanjutkan certianya. Beliau mengatakan bahwa itu semua tak ada apa-apanya dibandingkan dengan penderitan kakek-nenek beliau dulu. Ibunya juga bercerita tentang temen sepermainannya dulu yang waktu kecil mbandel hingga suatu saat jatuh dari motor dan kakinya diamputasi, tetapi dia sekarang bisa menjadi pedagang barang elektronik yang sukses. Kata ibu Kirta, Kirta pasti bisa melebihi temen beliau itu. Kirta pasti nantinya akan menjadi orang kantoran yang kemana-mana naik mobil, rumahnya tingkat dan bisa menyantuni anak-anak yang tidak mampu. Setelah ibu bercerita panjang lebar, kini giliran Kirta untuk menceritakan kejadian di sekolah dan saat lomba tadi.

Tak kalah dengan sang ibu, Kirta kini mulai merangkai kata untuk menggambarkan suasana perlombaan tadi. Perlombaan yang sangat seru dan benar-benar menjadi pelajaran berharga untuk Kirta. Kirta kemudian naik ke kasur dan bersandar di pangkuan ibunya. Seperti ini lah ceritanya:

Sebelum berangkat, Kirta dipanggil para guru untuk bersalaman meminta do’a restu. Semua guru ikut mendoakan semoga Kirta bisa membawa piala kemenangan ke sekolahnya karena baru kali ini sekolah Krta lolos kompetisi tingkat provinsi. Sesampainya di sana, Kirta melihat gedung yang bagus-bagus, baru, bersih, besar, fasilitas lengkap dan serba elit. Bahkan saat Kirta ke kamar mandi dia kebingungan karena tidak ada bak airnya. Yang ada hanya shower, dan WC modern. Dia pun tertawa saat bercerita. Teman-teman barunya pun berbeda dari teman-temannya di SMP. Ada dari kota dan ada juga dari desa seperti Kirta, tetapi mereka semua baik hati. Kirta tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia berkenalan dengan banyak orang dan meminta nomor Hpnya. Kirta menunjukkan nomor-nomor itu yang dia tulis di buku catatan kecil karena Hpnya ditinggal di rumah untuk ibu agar sewaktu-waktu ayahnya menghubungi dari Jakarta bisa langsung ke ibunya.

Saat-saat menegangkan adalah saat presentasi karya ilmiahnya. Dia menghadapi juri-juri yang menurutnya adalah orang super hebat, tahu segala hal sehingga sewaktu-waktu Kirta tidak bisa menjawab pertanyaan juri, Kirta akan merasa malu dan sedih.

Ibunya bertanya, “Terus Kirta tadi gimana, bisa menjawab pertanyaan juri?”.

Kirta menjawab, “Iya Bu,tadi ada. Waktu ditanya bagaimana membuat susu bubuk dari kedelai Kirta tidak biasa menjawab Bu, terus Kirta diam saja. Bingung” . ibunya tersenyum bahagia melihat anaknya begitu semangat menyampaikan berita itu.

Kirta melanjutkan lagi ceritanya: “Bu, Kirta seneeeeng banget. Kirta tadi malam tidurnya di spring bed empuk, wangi. Terus makannya prasmanan, jadi bisa ambil sepuasnya. Hahaha…(Kirta tertawa lepas, begitu juga ibunya). Hemm…senang ya bu, jadi orang kaya. Pokoknya Kirta harus jadi orang kaya!!(dengan gaya supermen, kedua tangannya dikepal dan di angkat ke atas bahu) ”. Mereka saling berpelukan dan tampak senang.

Esok harinya, Kirta kembali melangkahkan kakinya dengan tegap sembari dalam hatinya berkata:

Hari ini aku bangkit kembali. Tak ada lagi rasa sedih dan kecewa. Ku tak mau terlarut dalam perasaan itu. Aku sungguh-sungguh akan belajar dengan baik, berusaha yang terbaik dan memberikan yang terbaik untuk ibuku dan orang lain’

(seragam SMP-berubah seragam SMA-berubah pakaian berdasi dan jas, masuk ke dalam ruang kerja di dalam kamarnya kemudian duduk di kursi mewahnya, melepas jas dan dasinya).

Di kamarnya terpajang foto keluarganya dan bukti-bukti perjalanan sekolahnya, diantaranya : danum SMP, SMA dan IPK serta sertifikat penerima beasiswa PAS(putih Abu-abu scholarship, dan SSB(Sampoerna School of Bussiness).

Seperti biasa, dia mencium foto kedua orang tuanya dan anak-anak sepulang bekerja. Kemudian dibukanya album foto berwarna merah tua itu. Terlihat jelas foto-foto bersama keluarganya saat ada acara pernikahan saudaranya di Ciasem, foto saat ia menjadi juara, foto wisuda, foto bersama teman-temannya, foto ia bersama guru BK SMP dan seluruh elemen beasiswa PAS saat ada kegiatan bonding. Melihat foto acara bonding itu, dia teringat kenangan bersama PAS. Dia pun membuka buku hariannya yang dulu, terlihat tulisan mulai saat ia menemukan brosur PAS di dinding ruang BK, saat ia melengkapi persyaratan pendaftaran, saat dia dikunjungu officer PAS dan saat ia diberikan apresiasi atas peringkat pertama paralel di SMP.

Kemudian dia ganti baju dan keluar rumah. Tiba-tiba ia diserbu anak kecil. Anakaitu merengek-rengek mengajaknya untuk bermain ayunan.

Kirta balik bertanya,”Adhek cantik, teman-temannya mana?lagi pada belajar ya? Kok siska nggak belajar?hayo…”

Siska, si anak mungil itu kemudian tersenyum malu. Kirta mengajaknya menuju taman belajar(ditunjukkan dengan papan nama taman belajar :”Putra Mulia” yang ia dirikan dengan usahanya sendiri dengan dorongan dari ibunya tercinta. Di taman belajar itu tampak sang ibu beridiri dengan senyumnya yang selelu indah dihati.

No comments:

Post a Comment